Sore itu aku duduk di pojok di ruang tunggu Bandara Kualanamu menunggu penerbangan ke Surabaya. Aku duduk seorang diri dengan buku Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer di tanganku. Aku sungguh menikmati buku bacaanku. Namun, aku tidak menyadari ternyata ada sepasang bola mata mengamatiku.
Radius dua meter dari tempatku duduk, seorang bapak mengamatiku dengan serius. Usianya kurang lebih lima puluhan. Matanya sipit dan rambut kepalanya sebagian sudah ditumbuhi uban. Kaca matanya melorot ketika bola mata kami beradu pandang. Sejurus kemudian aku melemparkan seulas senyum, mengurangi rasa khawatirku. Bapak itu pun beranjak dan tanpa permisi langsung duduk di sampingku.
Dia jabat tanganku dan memperkenalkan diri. Dengan ramah kusambut uluran tangannya dan menyebut namaku.
“Suster mau ke mana?” tanyanya memulai pembicaraan.
“Saya mau ke Malang, Pak,” jawabku sopan.
“Tapi pesawat ke Malang tidak ada langsung dari sini, Suster,” terangnya.
“Iya, Pak, saya naik pesawat menuju Surabaya. Ada saudara yang akan menjemput saya dari Surabaya menuju Malang,” tanggapku lembut.
“Apakah ada keluarga di Malang, Suster?”
“Adik perempuan saya tinggal di sana, Pak, dan sudah satu tahun Ibu bersama mereka. Kebetulan saya lagi liburan, sekalian mau jemput Ibu pulang ke kampung. Kalau Bapak mau ke mana?”
“Saya mau ke Jakarta, Suster, tapi pesawatnya delay.”
Setelah terdiam sejenak, bapak itu bertanya lagi, “Suster, bolehkah saya cerita?”
Aku terkejut mendengarnya. “Jika Bapak merasa nyaman membagikan cerita Bapak, silakan,” sahutku sedikit bingung.
“Suster, saya bukan Kristen. Dari tadi saya lihat Suster asyik sekali membaca buku itu,” tunjuknya. “Namun, entah mengapa saya ingin sekali menceritakan siapa diriku yang sebenarnya kepada Suster.”
“Apakah yang Bapak harapkan dari saya sehingga Bapak ingin sekali menceritakan siapa diri Bapak kepada saya?” tanyaku penasaran.
“Saya tidak mengharapkan apa-apa, Suster. Saya hanya ingin didengarkan.” Dengan tatapan kosong ke depan, ia mengaku, “Suster, saya merasa berdosa sekali.”
Ia lalu menarik napas dalam-dalam. “Saya seorang pengusaha sukses. Punya usaha di beberapa kota. Ini baru pulang dari salah satu perusahaan saya. Saya menetap di Jakarta. Saya punya seorang istri yang cantik dan baik hati. Seorang anak lelaki yang tampan dan sebentar lagi akan menginjak bangku kuliah. Dia sekolah di perguruan Katolik.”
Ia membuka layar smartphone dan menunjukkan foto keluarganya. Anak dan istrinya tersenyum, sedangkan wajah bapak itu kelihatan agak berat. “Pasti keluarga Bapak bahagia, ya?” ujarku memuji.
Ia tidak menjawab. Tatapannya kembali ke depan. Entah apa yang dia pikirkan.
“Suster, apakah saya masih ada kesempatan untuk bertobat?” tanyanya tanpa menoleh.
Sambil menarik napas, aku menjawab, “Semua orang diberi kesempatan untuk memperbaiki diri, Pak. Tak ada orang yang luput dari dosa. Semua pernah berdosa. Semuanya berpulang pada diri kita, Pak. Apakah tinggal dalam kedosaan atau mau bangkit dari keterpurukan itu.”
“Suster, dalam menjalankan bisnis, saya sering bepergian ke luar kota, bahkan ke luar negeri. Saya jarang di rumah. Awalnya saya sangat menjaga dan menghormati kesetiaan. Tapi akhirnya saya jatuh, Suster. Saya terlalu jauh melangkah. Bahkan, saya tidak dapat menghitung dengan jari sudah berapa perempuan jadi korban saya.”
Bapak itu menarik napas dan melanjutkan kisahnya.
“Awalnya saya menyesal, Suster, tapi kemudian perasaan sesal itu tidak ada lagi. Saya menikmatinya, bahkan saya jarang merindukan keluarga. Terkadang saya memberi alasan kepada istri, urusan saya belum selesai, supaya dia memaklumi situasi saya. Tapi, ketika saya melihat Suster, perasaan bersalah itu muncul lagi. Saya langsung ingat istri dan anak saya. Makanya saya langsung menjumpai Suster untuk menyatakan keberdosaanku.”
Seperti bapa pengakuan yang baru selesai mendengarkan pengakuan dosa umatnya, aku merasa tak pantas memberikan nasihat kepadanya. Siapakah aku yang bertindak sebagai penasihatnya? Kata-kata bijak juga tak kumiliki.
Kuamati pria paruh baya itu, yang merasa tidak punya wibawa lagi. Ia tertunduk tak mampu menatapku lagi. Kuamati sekitarku, orang-orang masih sibuk lalu-lalang menunggu jam penerbangan. Namun, kami berdua sibuk dengan perasaan kami masing-masing.
“Apakah Bapak menyesal dengan semua perbuatan yang Bapak lakukan itu?” tanyaku.
“Saya menyesal, Suster, maka saya datang menjumpai Suster,” jawabnya lirih.
“Penyesalan itu awal dari pertobatan, Pak. Saya tidak punya kuasa menasihati Bapak. Tapi coba Bapak posisikan jika Ibu melakukan hal yang sama. Ibu bepergian ke luar kota. Ibu beri alasan bahwa Ibu sibuk dengan bisnis. Namun, apa yang Ibu katakan ternyata bohong. Apakah Bapak akan diam saja atau tidak merasa apa-apa?”
“Saya akan marah, Suster.”
“Demikian juga perasaan Ibu, jika dia mengetahui orang yang dia banggakan, puja, dan cintai ternyata mengkhianati ikatan suci perkawinan mereka. Tidak ada seorang pun yang ingin dikhianati, apalagi oleh orang yang sangat dicintainya. Demikian juga Ibu. Ibu yakin Bapak akan setia maka Ibu selalu menjaga kesetiaan itu. Tapi, tanpa Ibu ketahui Bapak sudah mengkhianati cinta tulusnya.”
Telepon berdering.
“Sebentar, Suster, istri saya telepon.” Ia berdiri dan mengambil jarak dariku.
Setelah selesai bicara di telepon, bapak itu duduk kembali di sampingku dan berkata, “Istri saya tanya di mana posisi saya. Dia khawatir sekali soal keadaan saya.”
“Apakah ketika Bapak pergi ke suatu tempat selalu mengabari keadaan atau posisi kepada Ibu?” tanyaku hati-hati.
“Tidak pernah, Suster.”
“Pak, seorang istri yang baik dan setia akan mencemaskan keberadaan suaminya. Apakah suaminya sudah makan, apakah suaminya baik-baik saja. Padahal, Bapak merasa aman-aman saja dan tidak mengkhawatirkan keadaan Ibu di rumah. Bahkan, Bapak tidak memberi tahu pesawat Bapak delay. Ibu pasti cemas.”
Bapak itu mengangguk-angguk. Apakah dia menyetujui kata-kataku, aku tidak tahu.
“Pak, masih ada kesempatan untuk bertobat. Masih ada waktu untuk membahagiakan istri dan anak Bapak. Mereka tidak hanya butuh uang Bapak, tapi kasih sayang juga sangat mereka butuhkan. Jika Bapak belum siap, tidak perlu cerita kepada Ibu, apa yang sudah Bapak perbuat. Tapi, Bapak harus punya komitmen atau prinsip hidup bahwa Bapak tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Jika Bapak bepergian ke luar kota, Bapak harus ingat bahwa ada seorang perempuan dan seorang anak yang sangat mencintai Bapak dan menunggu kehadiran Bapak di rumah. Dengan mengingat itu, mudah-mudahan Bapak rindu untuk pulang ke rumah.”
“Kepada para penumpang penerbangan menuju Surabaya, harap memasuki pesawat melalui Gate 7.” Suara itu mengalun merdu mengakhiri pertemuan kami.
Mendengar panggilan itu, aku langsung membereskan barang bawaan. Sambil berdiri, aku menjabat tangannya dan berkata, “Sampaikan salam saya buat Ibu dan anak Bapak. Katakan kepada Ibu, dia seorang istri yang hebat.”
Bapak itu tersenyum dan berkata, “Terima kasih, Suster, senang bertemu dengan Suster. Terima kasih atas nasihat Suster. Doakan keluarga kami, ya, Suster.”
Kulangkahkan kaki menuju Gate 7 dan ikut dalam jajaran antrean. Kulihat bapak itu masih di ruang tunggu. Ia berdiri menatapku. Kulambaikan tanganku ke arahnya.
Sambil berjalan menuju pesawat, kuarahkan pandanganku ke ruang tunggu bandara, ruang tempatku mendengarkan kisah seorang bapak yang memiliki pengalaman yang tak pernah aku duga sebelumnya. Ruang yang penuh permenungan.
Sr. Egidina Saragih, KSFL
Ilustrasi: Bambang Shakuntala
03 Maret 2020
15 Januari 2020
10 Desember 2019
426 Views
0 comments