Pada masa kini, ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) merayakan kemajuan dan kejayaan. Melalui penemuan-penemuannya yang mutakhir. Melalui penemuannya tersebut, manusia dapat mengatasi kelemahannya. Salah satu bukti nyata kemampuannya ini tampak dalam perannya membantu manusia selama masa pandemi. Ketika hampir semua kegiatan dibatasi dan orang-orang hanya boleh berkegiatan di rumah, teknologi seakan-akan menjadi “napas baru” bagi dunia. Ketika secara fisik manusia dibatasi dan tidak bisa berjumpa dengan orang luar, teknologi membantunya berjumpa dengan yang lain melalui digital. Melalui media digital tersebut, orang melakukan berbagai macam kegiatan, termasuk kegiatan ritual atau ibadat secara online. Pada saat itu teknologi digital seakan-seakan menjadi rumah ibadah baru bagi agama.
Memang harus diakui bahwa teknologi digital ini dapat menjadi solusi sekaligus jawaban atas masalah yang dihadapi manusia. Namun, dalam perkembangannya, teknologi digital ini perlu ditanggapi dengan bijaksana. Di satu sisi, dia membantu manusia, tetapi di sisi lain dia diciptakan oleh manusia yang tidak sempurna sehingga dia juga mengalami kelemahan. Dulu manusia sangat mengagungkan kemajuan teknologi digital ini, tetapi sekarang dia justru seperti ular peliharaan yang akhirnya mematuk tuannya. Sekarang ini ada banyak kejahatan dunia maya yang membuat manusia menjadi korban. Kejahatan yang diakibatkannya ini bukan hanya secara sosial atau psikologis, tetapi spiritual juga terjadi. Misalnya, melalui media digital orang lebih mudah belajar membuat bom yang digunakan untuk menghancurkan orang atau kelompok lain yang berbeda dengannya.
Perjumpaan di Media Digital
Pada dasarnya, manusia adalah makhluk sosial yang selalu memiliki kehendak untuk berelasi dengan yang lain. Dengan kehendak untuk berjumpa ini, manusia mencari media yang bisa digunakan untuk mewujudkannya. Media ini tidak hanya bertujuan untuk berelasi dengan sesama manusia, tetapi dengan yang transenden pun juga diusahakan diciptakan. Dari dulu orang membuat media-media yang membuatnya dapat terhubung dengan yang transenden, misalnya melalui gambar, tulisan, dan benda-benda alam lainnya. Semua simbol itu dipercaya dapat membuatnya berhubungan dengan yang transenden. Pada masa ini bisa jadi bahwa media yang digunakan untuk mewujudkan hubungan itu adalah teknologi digital. Akan tetapi, jika memang teknologi digital itu dapat mewujudkan hubungan dengan yang lain, lalu pertanyaannya adalah bagaimana manusia memahami perjumpaan dengan Allah dan sesama melalui teknologi digital ini.
Sejak pandemi muncul, orang-orang mulai membiasakan dirinya dengan menggunakan alat-alat media digital untuk melakukan ibadat. Orang Katolik juga memanfaatkannya, yaitu membiasakan diri dengan Misa online. Kegiatan Misa online dianggap sebagai kegiatan sementara selama masa pandemi, tetapi orang akhirnya nyaman dan lebih senang mengikuti Misa online ini. Misa online ini dianggap lebih mudah diakses, cukup sediakan laptop dan pilih Misa di paroki yang sedang live streaming. Mereka lebih senang mengikutinya karena bisa memilih paroki dan romo favorit yang selama ini susah untuk diwujudkan secara offline. Sedangkan kalau secara offline, pilihan-pilihan seperti itu susah untuk dilakukan karena ada berbagai masalah yang dihadapi. Misalnya, lahan parkir paroki yang kecil, homili pastor yang membosankan, dan gedung gereja yang sesak dengan umat sehingga tidak bisa berdoa dengan nyaman.
Dari semua kenyamanan yang diberikan oleh ritual online ini, maka perlu juga refleksi tentang bagaimana memahami spiritualitas perjumpaan orang beriman. Spiritualitas perjumpaan ini sangat penting karena kegiatan yang dilakukan adalah kegiatan bersama. Secara biblis, Yesus juga menekankan kebersamaan para murid-Nya. Dia menghendaki adanya komunitas, yaitu berkumpul bersama. Hal ini seperti yang Dia ungkapkan kepada para murid-Nya, “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat. 18: 20). Kata-kata Yesus ini mau mengungkapkan bahwa di mana pun berada dan jika mau berkumpul di dalam nama-Nya, maka Dia hadir di antara mereka. Oleh karena itu, melalui ibadat online atau Misa online, Yesus juga hadir di sana sehingga perkumpulan yang dilakukan secara online ini tidak mengurangi kualitas kehadiran Kristus ketika dilakukan secara offline atau fisik dengan berkumpul bersama.
Ibadat atau Misa online itu hanya salah satu dari kegiatan kerohanian yang dilakukan oleh agama. Secara sederhana perjumpaan yang dilakukan secara digital ini dapat membantu manusia untuk berjumpa. Tetapi, perjumpaan itu mengalami kelemahan atau ada “momen” yang tidak terjadi. Mungkin berjumpa melalui media digital sambil makan di rumah masing-masing dapat memberikan rasa kebersamaan, tetapi mereka tidak bisa saling merasakan makanan yang sedang dinikmati. Momen merasakan bersama makanan yang sedang dinikmati itu tidak bisa dibantu oleh teknologi, melainkan hanya dapat dilakukan jika bertemu di dunia nyata.
Sisi lain dari media digital sebagai media perjumpaan ini juga tampak dalam fenomena “eksistensi palsu” yang semakin banyak dilakukan. Mungkin di dunia nyata seseorang tidak terlalu yakin dengan dirinya karena kurang keren, tetapi dengan menggunakan filter, dia malah lebih keren dan dipuji oleh netizen. Akibat fenomena ini adalah ada banyak orang yang takut menunjukkan dirinya yang sesungguhnya, melainkan menggunakan “pseudo-identity” atau identitas palsu. Dengan identitas tersebut, seseorang semakin percaya diri.
Jika media digital dipandang sebagai sarana untuk mewujudkan kerinduan manusia untuk berjumpa dengan sesama manusia, maka perlu juga direfleksikan tentang makna kerinduan perjumpaan itu. Kerinduan akan perjumpaan ini dapat ditemukan dalam kisah Paulus. Ketika Paulus rindu untuk berjumpa dengan komunitas-komunitas Kristiani, tindakan pertama yang dia lakukan adalah dengan mengirim surat. Pada masa itu, media utama yang ditemukan adalah dengan mengirim surat. Mungkin sekarang media surat yang digunakan Paulus tersebut bisa disejajarkan dengan media digital masa kini. Tetapi, Paulus tidak puas dengan media surat, melainkan dia selalu rindu untuk berjumpa secara langsung dengan mereka.
Berdasarkan surat-suratnya, dapat diketahui bahwa Paulus selalu rindu untuk berjumpa secara langsung, “Dalam pada itu bersedialah juga memberi tumpangan kepadaku, karena aku harap oleh doamu aku akan dikembalikan kepadamu” (Flp. 1: 22). Oleh karena itu, dari pandangan Paulus ini dapat dipahami bahwa media digital bukanlah solusi akhir atau jawaban atas kerinduan perjumpaan, melainkan awal dari kerinduan karena kerinduan yang sejati hanya terjadi ketika berkumpul bersama di dunia nyata.
Teknologi digital sudah menjadi bagian dari hidup manusia sehingga saat ini manusia susah untuk menjauh darinya. Memang teknologi ini bisa menjadi partner manusia untuk mewujudkan kebaikan, tetapi perlu pemanfaatan yang bijak. Sebagai orang Kristiani, teknologi digital dapat membantu dalam berbagai macam hal, termasuk mengembangkan hidup beriman. Akan tetapi, perlu juga sikap kritis terhadapnya, terutama kelemahan yang dimilikinya, yaitu dalam hal perjumpaan sebagai orang beriman. Kelemahan ini juga disorot oleh Paus Fransiskus “konektivitas digital tidak cukup untuk membangun jembatan dan tidak mampu mempersatukan umat manusia” (Fratelli Tutti, art. 43). Kata-kata Paus tersebut dapat menjadi refleksi bersama bagi orang Kristiani dalam menghayati imannya di tengah kemajuan teknologi digital.
Tonius Hia, S.Fil.
Biarawan Ordo Salib Suci
Saat ini sedang menempuh Magister Ilmu Teologi di Universitas Katolik Parahyangan
Ilustrasi: www.freepik.com
22 November 2022
14 Juni 2022
06 Mei 2022
146 Views
0 comments