Agama merupakan suatu bentuk keyakinan manusia terhadap sesuatu yang bersifat adikodrati. Keberadaan agama sudah ada sejak lama dan menjadi bagian dari sejarah umat manusia. Agama memiliki ruang lingkup yang sangat luas dalam kehidupan kita dan tidak hanya sekadar memberi petunjuk untuk kehidupan di akhirat.
Agama membawa nilai-nilai kehidupan bagi manusia sehingga memberikan pengaruh yang luar biasa dalam kehidupan sehari-hari. Agama menjadi suatu pedoman yang memuat norma-norma tertentu. Norma-norma tersebut pada akhirnya menjadi acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan agama yang dianutnya karena agama dinilai memiliki peran yang sangat penting dalam sebuah kehidupan.
Agama berperan untuk menentukan apa yang harus dilakukan dan melarang apa yang harus dihindari. Kedua unsur ini mempunyai latar belakang untuk mengarahkan seseorang agar menjadi pribadi lebih baik lagi. Agama juga berperan sebagai penyelamat. Setiap orang pasti menginginkan dirinya selamat di mana pun berada. Agama hadir dengan membawa keselamatan tersebut. Keselamatan yang diberikan oleh agama meliputi keselamatan di dua alam, yaitu di dunia dan akhirat. Namun, untuk mendapatkan keselamatan tersebut, agama mengajarkan para penganutnya melalui pengenalan kepada masalah sakral, berupa keimanan kepada Tuhan.
Akan tetapi yang menjadi masalahnya adalah sering kali agama-agama besar menjadi sumber kecemasan dan kekerasan. Penyebabnya adalah masalah identitas yang kehilangan batasan, kekuasaan yang dalam globalitas menjadi tidak seimbang dan heterodoksi yang mengakibatkan disorientasi. Peran agama akhirnya berubah, agama ditunggangi sebagai tujuan politik. Simbol-simbol agama sebagai alat untuk mendapatkan tujuan-tujuan politik atau untuk memobilisasi massa dalam memenangkan calon tertentu dalam pemilihan jabatan publik. Agama juga terkadang terlalu hierarkis dan dogmatis sehingga lebih menekankan doktrin-doktrin dan rumusan-rumusan yang kaku tetapi tidak menyentuh hati umat beriman. Melihat fenomena tersebut dibutuhkan spiritualitas yang membumi dan mampu merangkul serta membawa pembaruan.
Spiritualitas Transformatif
Spiritualitas berasal dari kata Latin “spiritus” yang berarti semangat, jiwa, roh, sukma, mental batin, rohani, dan keagamaan. Spiritualitas pada umumnya dimaksudkan sebagai hubungan pribadi seorang beriman dengan yang Ilahi dan aneka perwujudannya dalam sikap dan perbuatan. Spiritualitas dapat dirumuskan berdasarkan kekuatan Roh Kudus dengan cara mengembangkan iman, harapan, dan cinta kasih. Spiritualitas dapat disebut sebagai cara mengamalkan seluruh kehidupan seorang beriman yang berusaha merancang dan menjalankan kehidupan sebagaimana Tuhan menghendakinya. Cara tersebut dicapai dengan mempererat hubungan dengan Tuhan. Relasi dengan Tuhan, dibangun dengan cara setia mendengarkan sabda-Nya dalam Kitab Suci, dalam doa-doa dan dalam perayaan-perayaan iman.
Akan tetapi, spiritualitas tidak terikat dengan institusi agama yang legal atau diakui. Spiritualitas merupakan sebuah pengalaman personal seseorang. Pemahaman dan pengalaman akan Yang Ilahi tidak hanya ditemukan dalam Kitab Suci atau ajaran-ajaran Gereja, tetapi juga dapat dirasakan melalui perjumpaan dengan yang lain. Perjumpaan itu bahkan dapat menyentuh hati dan inti dari kehidupan manusia. Di dalam kedalaman batin atau inti hidup tersebut manusia mencapai suatu kesadaran yang tertinggi dalam hidupnya, yaitu bahwa segala sesuatu adalah satu kesatuan. Artinya, tindakan yang dilakukan akan berpengaruh terhadap yang lain.
Maka, zaman ini dibutuhkan penghayatan spiritualitas yang transformatif di mana semangat itu dinyatakan dalam tindakan hidup sehingga mampu menghadirkan Kerajaan Allah. Spiritualitas transformatif akan tampak dalam perubahan sikap dan cara hidup kita serta relasi dengan sesama. Dengan demikian, spiritualitas bergerak berdasarkan roh, berelasi dengan sosok Yang Ilahi, mencari suatu nilai, tidak terikat dengan agama, tetapi menyentuh pengalaman dan mewujud dalam tindakan manusia.
Orang yang memiliki spiritualitas tampak dari sikapnya menjalani hidup. Dia akan keluar dari dirinya sendiri dan mampu merangkul siapa saja dengan penuh kasih. Orang yang memiliki spiritualitas tidak selamanya hanya umat beragama. Agama tidak hanya sebatas iman atau kepercayaan atau bahkan ilmu pengetahuan, tetapi bagaimana kita mengamalkan iman kita dalam tindakan kita sehari-hari. Sebab, banyak orang yang peduli dan penuh cinta tetapi dia seorang ateis. Beriman tidak sama dengan beragama. Bisa saja seseorang rajin berdoa atau aktif dalam kegiatan menggereja tetapi dalam kehidupan yang sebenarnya jauh dari norma-norma hidup beragama.
Orang yang beriman malah sebaliknya. Dia akan menunjukkan sikap yang baik dan penuh belas kasih. Mereka inilah yang memiliki semangat atau spiritualitas yang sesungguhnya. Seorang pribadi yang memiliki spiritualitas sejati tidak hanya tampak dalam doanya yang indah dan ilmu pengetahuannya yang cemerlang akan tetapi nyata dalam perbuatan-perbuatan baik yang menghargai setiap pribadi dan alam ciptaan.
Refleksi
Kita sebagai Gereja yang hidup, dipanggil dan diutus dalam mewujudkan pelayanan kasih kepada sesama. Sebagaimana Yesus yang tidak berdiam diri di takhta singgasana Bapa-Nya dan memerintah dengan kekuasaan-Nya tetapi Dia “turun” dan membasuh kaki para murid-Nya. Hal ini mau menunjukkan bahwa Dia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani. Yesus yang telah membasuh kaki para murid menghendaki para murid-Nya untuk melakukan hal yang sama yakni memberi perhatian kepada mereka yang miskin, sakit, tertindas, janda, yatim piatu dan para pendosa yang tersingkir dari tatanan sosial serta mampu merangkul siapa pun tanpa memandang status dan agamanya.
Paus Fransiskus juga melakukan hal yang sama, dia turun dari takhta hierarkinya dan membuka tangan untuk semuanya. Ia hadir untuk semua golongan, agama dan suku bangsa. Kehadirannya bagaikan oasis di padang gurun yang memuaskan rasa dahaga. Sikap ini adalah buah dari doa dan dinyatakan dalam tindakannya. Spiritualitas inilah yang memampukan dia untuk melakukan hal-hal di luar jangkauan manusia. Paus Fransiskus membangun jembatan untuk menjalin relasi dengan semua suku, agama, dan bangsa yang ada di dunia. Ia ingin mematahkan konsep dan doktrin-doktrin yang selama ini sangat melekat dalam tubuh Gereja Katolik bahwa Gereja sangat hierarkis, terlalu doktrinal, kaku dan tidak menyentuh kalangan bawah.
Semuanya itu akhirnya terpatahkan melalui tindakan dan sikap Paus Fransiskus yang penuh kasih. Paus Fransiskus banyak membawa pembaruan yang dampaknya tidak hanya untuk Gereja Katolik, tetapi mencakup seluruh dunia. Hal itu tampak juga dalam kunjungannya ke Mesir dalam rangka menjalin kerja sama dan dialog antara Kristen dan Muslim. Di sana, Paus Fransiskus bertemu secara pribadi dengan imam besar Sheikh Ahmed el-Tayeb (Syaikh Besar Al-Azhar) dan berpartisipasi dalam konferensi perdamaian internasional
Penulis sebagai seorang religius yang memiliki spiritualitas Fransiskan dituntut juga untuk semakin introspeksi diri. Penulis berharap agar mampu keluar dari keegoistisan diri, keluar dari rasa nyaman yang selama ini telah mapan dalam tembok biara dan turun ke bawah melihat dunia yang sesungguhnya. Biara yang selama ini melekat dan nyaman dengan hidup doanya serta taat dengan segala peraturan-peraturannya hendaknya melakukan pembaruan yang membuahkan dampak dan pengaruh bagi Gereja dan masyarakat sekitarnya. Hendaknya hidup doa membuahkan kualitas hidup yang baik. Karena kehadiran religius bukanlah demi keselamatan pribadi melainkan keselamatan banyak orang dan juga demi Kemuliaan nama-Nya.
Sebagaimana St. Fransiskus Asissi menghendaki para pengikutnya hidup sebagai saudara dina, paling kecil dari semua, hamba bagi semua. Demikian juga penulis dituntut agar mampu menjadi saudara bagi sesama dan menjadi dina di hadapan-Nya. Dina bukan berarti menyiksa diri-sendiri dengan laku tapa dan mati raga, tetapi mau menunjukkan pada sikap belas kasih dan kerendahan hati yang mendalam. Sebagaimana yang diteladankan oleh Yesus Kristus, Fransiskus juga tunduk dan hormat kepada semua orang dan menganggap orang lain lebih tinggi dari dirinya.
Sebagai pengikut Kristus yang tergabung dalam hidup bakti dan memiliki Spiritualitas Fransiskan, saya diutus untuk mengikuti teladan-Nya dan melanjutkan misi-Nya di dunia ini. Bermisi tidak harus berangkat ke luar negeri, tetapi dapat melakukan hal-hal yang sederhana dengan penuh cinta. Berdialog dengan agama-agama yang lain juga merupakan sebuah misi. Sebagaimana Fransiskus juga melakukan hal yang sama yaitu mengunjungi Sultan Malik-el-Kamil, di Mesir. Fransiskus mau memperlihatkan keterbukaan hati, yang tidak mengenal batas dan yang melampaui perbedaan asal, kebangsaan, warna kulit, atau agama. Itu adalah sebuah misi yang dilakukan dengan penuh kasih.
Kita sebagai Gereja yang hidup di panggil juga untuk menjalin relasi dan berdialog dengan agama-agama lain. Dialog dengan agama-agama lain dapat melengkapi dan memperkaya satu dengan yang lain. Gereja tidak mengabdi hanya untuk dirinya sendiri melainkan berkurban dan menderita demi keselamatan dunia. Gereja ikut ambil bagian dalam keprihatinan manusia dan dunia serta tidak jatuh pada ambisi duniawi. Agama-agama lain bukanlah ancaman bagi kita, karena dalam ajaran mereka juga memuat benih-benih kebaikan dan kebenaran.
Hendaknya kehadiran mereka membawa kita untuk semakin introspeksi diri sejauh mana kita mengimani agama yang kita anut. Jangan-jangan hidup keagamaan mereka lebih baik daripada hidup keagamaan kita. Bahkan bisa jadi, seorang ateis lebih baik dalam bersikap serta bertutur kata daripada kita yang mengklaim diri sebagai pengikut Yesus. Kita boleh bermenung sejauh mana kehadiran kita membawa makna dan pengaruh positif bagi sesama yang berada di sekitar kita.
Kehadiran kita hendaknya membawa keselamatan. Keselamatan itu tidak hanya terletak pada ketaatan dalam beribadah, rajin ke gereja dan selalu mengirimkan renungan-renungan yang berbau rohani tetapi hendaknya lebih dari semuanya itu. Hidup doa kita hendaknya berbuah dan memancarkan hidup yang berkualitas, dewasa, beriman kritis sehingga menjadi berkat bagi sesama. Sebab, kita dipanggil untuk menjadi perpanjangan tangan Tuhan dalam menata dan menciptakan dunia yang lebih baik.
Kita dipanggil bukan untuk membangun tembok kesombongan yang menjulang tinggi dan menganggap agama kitalah yang paling benar, tetapi kita dipanggil untuk menjadi jembatan kasih bagi agama-agama, suku, dan bangsa yang lain serta mereka yang tidak diperhitungkan. Keselamatan tidak hanya berfokus pada diri sendiri tetapi hendaknya kehadiran kita membawa makna yang baru dan dampak yang positif bagi kehidupan pribadi, Gereja, dan masyarakat. Itulah spiritualitas sejati.
Sr. Egidina Saragih, KSFL
Saat ini menempuh Pendidikan Program Studi Magister Ilmu Teologi, Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR).
22 November 2022
14 Juni 2022
06 Mei 2022
138 Views
0 comments