Cermin
Kesedihan (Lain) Seorang Guru
Bocah polos itu menyapaku dengan ramah dan ceria seperti biasanya. Ia selalu menyertakan nama setiap guru di akhir ucapan selamat paginya. Langkahnya selalu ringan dan selalu terselip senyum di balik maskernya, kadang matanya yang sipit “hilang” karena tawa renyahnya.
Pagi itu dia datang bersama orang tuanya untuk mengambil beberapa administrasi dan surat pindah. “Suster Luisa masih ingat ‘kan dengan saya? Saya mau pindah lho, jangan lupakan saya, ya, Suster,” katanya.
Saya menimpali dengan singkat penuh kekaguman. Ya … dia akan pindah sekolah mengikuti orang tuanya yang pindah lokasi pekerjaan.
Saya bukan wali kelasnya tetapi merasa “kehilangan”. Ungkapan polosnya membuatku berpikir dan mencoba untuk memahami relasi dan keakraban yang tersulam selama ini. Wali kelasnya mengatakan, “Sedih lho, Suster, kehilangan sekali anak ceria seperti dia.”
“Main ke tempat baruku, ya, Bu, saya akan traktir,” demikian ungkapan polos bocah itu pada wali kelasnya.
Ternyata, kesedihan guru tak hanya terjadi ketika muridnya tidak mampu mencapai KKM atau jika nakal. Namun, kesedihan lain seorang guru dapat terjadi jika ikatan emosional yang sudah terbangun tiba-tiba harus disudahi karena perpindahan atau kelulusan.
Kenangan dan cerita antara guru dan siswa memang tak pernah selesai. Selalu ada kisah yang mengendap menjadi kenangan. Akhir tahun menjadi kesempatan bercermin dan bersyukur.
Terima kasih, Nak, untuk pengalaman indah selama ini.
Luisa Anin, SDP
Ilustrasi: freepik.com
286 Views
0 comments