Cermin
Tarian Jempol Kaki
Hari yang sibuk akan segera berakhir dalam ibadat malam. Cahaya lilin meliuk dengan indah sebagai pengobat batin lelah sang pengembara. Mazmur demi mazmur didoakan dan dinyanyikan masih dengan separuh nyawa dan pikiran masih sibuk. Ketika lagu penutup dimulai, jemari kaki utamanya jari jempol kaki seorang suster sepuh di sebelahku bergerak mengikuti alunan lagu.
Pada awalnya saya merasa terganggu dan risi. Saya mencoba untuk berfokus pada cahaya lilin di depan, tetapi saya tetap tergoda untuk memperhatikan, mungkin lebih tepatnya melirik. Beberapa menit berlalu dan entah mengapa hati saya ikut bersemangat bercampur lucu karena tak biasa susterku demikian. Raga lelah yang telah tersedot kesibukan hari itu pun seolah luruh. Hati saya damai dan tubuh jauh lebih rileks.
Ibadat malam telah usai dan saya masih memberi kesempatan kepada diri untuk mencecap sukacita sederhana yang mungkin tak disadari oleh saudari sekomunitas.
Sesungging senyum terima kasih menghiasi batin dan saya beranjak dengan langkah ringan. Ketika menapaki tangga menuju kamar di lantai atas, rasa sukacita yang tadinya dominan kini bercampur malu dan haru. Saudari sekomunitas yang telah makan asam garam dalam hidup membiara masih tetap bersukacita di usia senjanya. Tarian jempolnya seolah berkata kepadaku, mari bersyukur dan menari dalam Tuhan.
Hal janggal yang pada awalnya mengganjal ternyata menjadi cara Tuhan menyapa, menghibur dan menyegarkan insan zaman yang berenang di tengah derasnya arus kehidupan. Pada akhirnya hidup adalah pertanyaan dan bagaimana kita menjalaninya adalah jawaban hari demi hari.
Luisa Anin, SDP
Ilustrasi: wallpaperflare.com
295 Views
0 comments