Perlakukan sahabatmu selalu dengan baik, seolah-olah semua waktumu di dunia ini hanya untuk menyenangkan mereka. Tetapi ingatlah bahwa ini adalah hal sepele yang acap kali paling berarti.
Seusai kuliah, saya merantau di Semarang. Bermodalkan iklan di media cetak, saya memberanikan diri melamar pekerjaan di sebuah majalah rohani Katolik. Waktu itu saya diminta mengirimkan satu karya tulis saya. Dari empat pendaftar, saya terpilih setelah melewati proses interview. Maka, dimulailah hari-hari saya di kota lumpia itu.
Bekerja di Semarang artinya saya tinggal terpisah dari keluarga. Hal umum dialami orang yang merantau adalah perasaan kesepian. Saya hidup dan bekerja di kota yang asing. Ibu kota Jawa Tengah ini belum pernah saya tinggali sebelumnya. Bahkan, saya tak tahu sama sekali jalan-jalan di kota itu. Saya tak mengenal seorang pun di kota ini. Saya seperti orang “buta” yang dilepas di jalan raya. Dua kata yang menggambarkan kondisi saya saat itu adalah bingung dan takut.
Saya berjuang untuk bertahan di kota “asing” ini. Saya ingin menulis berbagai peristiwa dan mewawancarai banyak orang. Semangat saya waktu itu sedang bergelora. Semangat itulah yang memampukan saya bertahan di kota yang tidak saya kenal ini. Walaupun saya akui di malam-malam yang panjang, dingin, dan sepi, saya ingin pulang ke rumah orang tua dan merasakan kembali dekapan seorang ibu.
Hari-hari saya waktu itu saya lalui dengan bekerja dari pagi sampai sore. Lalu pulang untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan beristirahat. Begitu seterusnya kegiatan saya sehari-hari. Saya hidup nyaris seperti robot. Saya melakukan hal yang sama seperti harinya. Di hari Minggu biasanya saya pergi ke Gereja Katedral Semarang untuk meliput kegiatan-kegiatan Gereja.
Untunglah, Tuhan tidak membiarkan saya sendirian. Ia mempertemukan saya dengan beberapa teman yang mendampingi saya melewati saat-saat sendiri dan sepi saya itu. Biasanya saya bertemu mereka di acara-acara Gereja yang saya liput. Teman baik saya hanya sedikit, tidak sampai lima orang. Namun, saya sangat menghargai “kado persahabatan” dari Tuhan ini.
Teman adalah keluarga yang kita pilih sendiri. Begitulah kata pepatah dan saya yakini kebenaran pepatah itu. Seiring waktu, kita bisa menilai, apakah teman kita tulus menyayangi kita, ataukah di belakang kita ia justru menusuk kita? Apakah teman kita mau mendukung kita di saat yang sulit atau malah membuat kita makin terpuruk? Saat bahagia dan sukses, tentu saja banyak teman yang mendekat. Namun, saat sedih dan gagal, barulah kita tahu manakah teman yang sejati manakah yang bukan. A friend in need is a friend indeed (teman yang ada saat dibutuhkan adalah sebenar-benarnya teman).
Ada dua hal yang mendukung sebuah persahabatan. Pertama adalah hubungan yang setara. Tidak ada orang yang merasa lebih tinggi ataupun lebih rendah. Profesi bisa berbeda, gaji boleh pula berbeda. Namun, kedudukan kedua orang itu setara. Bukan hubungan bos dan karyawan. Setiap orang merasa kedudukannya sejajar. Itulah yang disebut sahabat. Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah.
Hal kedua yang tidak kalah penting dalam sebuah persahabatan adalah kekuatan dukungan dan tidak menghakimi. Memang, manusia pasti tak luput dari kesalahan. Namun, seorang sahabat yang baik tidak menyalahkan sahabatnya yang melakukan kesalahan. Ia mau merangkul sahabatnya yang sedang terpuruk. Ia tak bahagia di atas penderitaan sahabatnya. Ia tulus mengasihi sahabatnya, baik waktu sahabatnya sukses ataupun gagal, berbuat benar maupun berbuat salah.
Tidak menyalahkan bukan berarti mendukung perbuatan sahabatnya yang keliru. Bukan itu gambaran sahabat yang baik. Sahabat hadir untuk mengarahkan sahabatnya kembali ke jalan yang benar. Ia akan terus hadir di sisi sahabatnya meskipun seluruh dunia memusuhi sahabatnya. Ia menyayangi sahabatnya dan ingin sahabatnya berubah dan kembali ke jalan yang benar.
Apakah berat menjadi sahabat sejati itu? Tentu saja tidak. Namun, harus kita sadari ibarat tanaman, persahabatan perlu disiram dengan perhatian dan kasih sayang, diberi pupuk dukungan dan penghiburan, disinari cahaya kasih, pengertian, dan kelembutan. Supaya “tanaman” persahabatan itu akan tumbuh subur dan tahan melewati badai kehidupan.
Selamat menjadi sahabat bagi sesama.
Seorang sahabat adalah seseorang yang mau mengerti masa lalumu. Percaya akan masa depanmu. Dan menerimamu apa adanya.
Ivonne Suryanto
Foto: www.freepik.com
177 Views
0 comments