Cermin
Berguru pada Laba-Laba
Laba-laba bukanlah binatang yang asing karena dapat dijumpai di kebun, taman, ataupun sudut-sudut rumah. Begitu juga yang saya alami dan temui, makhluk ini ada yang berukuran kecil dan sedang, yang jelas tidak sebesar Spider-Man atau seperti dalam film Eight Legged Freaks.
Pagi itu, dalam sebuah kesempatan retret bersama rekan-rekan guru di sebuah rumah retret berhawa sejuk, kami pun mengadakan meditasi alam. Sesuatu yang mahal sejak saya di Jakarta. Sembari menuruni tangga-tangga berlumut menuju sebuah kolam kecil, saya membiarkan seluruh indra mengecap lebih dalam indahnya alam berpadu harmoni suara binatang-binatang hutan yang sedang mengadakan konser tanda dimulainya hari.
Saya mencoba melambat tanpa banyak berpikir; mengizinkan segala sesuatu terjadi dan menerima segala sesautu apa adanya. Perasaan kagum tiada terhingga kala melihat aneka bunga-bunga indah yang merekah dan wangi. Saya juga kagum pada lumut hijau di antara bebatuan. Saya melangkah lebih lanjut dan mata saya terpukau pada laba-laba yang menyulam rumahnya di antara dua pohon pinang. Saya berhenti dan mencermati laba-laba hitam berukuran sedang yang sibuk membangun rumahnya yang belum sempurna dengan teknik maju mundur dan setiap kali tersambung jaring-jaring yang berkesinambungan.
Saya hanya berdiri dan mengamati laba-laba dengan kagum. Dalam hening, saya mengucapkan terima kasih pada laba-laba kemudian menuju aula tempat kami akan melanjutkan dinamika retret. Pengalaman menyaksikan keajaiban laba-laba membangun rumah, saya pun mengambil pembelajaran hidup yang tak tergantikan ini.
Laba-laba membangun rumahnya dengan tekun dan mengerahkan seluruh diri dan menggunakan cairan dari tubuhnya sendiri agar menjad rumah nyaman. Di lain sisi, saya belajar bahwa sewaktu-waktu sarangnya dapat hancur karena cuaca atau situasi luar, ia akan kembali membangunnya. Demikian pula, saya seorang guru dan pendidik, masa retret adalah kesempatan melihat kembali sejauh mana sarang suci, yakni batin saya. Hati harus lebih besar daripada otak. Karena jika saya hanya mengandalkan otak, ada batasnya dan sewaktu-waktu dapat mengalami kemundran-kemunduran.
Saya harus membangun “rumah” atau batin yang kuat; tempat saya pulang setiap waktu dan berjumpa dengan pemilik kehidupan. Seperti tema retret yang ditawarkan, yakni menjadi pribadi pribadi resilien, laba-laba ini telah menjadi guru yang mengajarkan cara menjadi resilien; pribadi tangguh yang berani bangkit dan makin kreatif setelah kehancuran dan kegagalan.
Luisa Anin, SDP
Ilustrasi: wikimedia.org
118 Views
0 comments