Cermin
“Aku Nggak Enak”
Malam segera tergantikan pagi dan seperti biasa, saya dan seorang rekan suster menyetop bajaj yang akan mengantar kami ke gereja. Sebelum bajaj meluncur, saya pun meminta agar mampir ke sekolah untuk menitipkan tas kerja yang berat agar tidak ribet.
“Wah, kagak enak, Bu, sama yang di depan sekolah. Maaf, ya, Bu, nanti cari bajaj yang di depan sekolah aja, ya,” tolak sopir bajaj itu.
Saya sempat merasa aneh dan heran dengan keputusan bapak ini. Kami segera turun dan menuju depan sekolah, menitipkan tas lalu mencari bajaj lain.
Sepanjang perjalanan ke gereja, saya terusik dengan ungkapan sederhana bapak tadi dan mencoba memaknai ungkapan dan keputusannya. Rekan suster menimpali singkat ketika saya mengutarakan keheranan saya mengapa bapak bajaj itu mengalah, “Solidaritas mereka sangat tinggi, kita bisa belajar dari mereka. Di Jakarta yang syarat dengan orientasi uang dan uang, masih banyak pribadi yang menjadi guru kehidupan.”
Bapak bajaj berani mengambil keputusan yang lebih eksistensial: kejujuran dan solidaritas. Persaingan yang tak terelakkan dan prinsip siapa cepat dia yang dapat rasanya tidak terlalu berlaku bagi beberapa orang yang masih menjunjung tinggi solidaritas dan berusaha mengendalikan diri terhadap rezeki yang bukan bagiannya.
Batin saya mendapat asupan segar pagi ini. Bapak bajaj telah berhasil menjadi guru kehidupan, sebuah ungkapan dan sikap tulus dan bukan teori yang rumit yang dangkal. Ibu kota yang konon lebih jahat dari ibu tiri ternyata masih menjadi tempat nyaman menyerap sari-sari kehidupan di tengah hiruk-pikuk tak berkesudahan.
Bagi saya, bapak bajaj telah menjadi salah satu manusia super yang hidup jujur di tengah kerasnya hidup di Jakarta. Terima kasih, Bapak Bajaj, sikapmu telah menjadi mood booster di awal hariku.
Luisa Anin, SDP
Ilustrasi: wikimedia.org
139 Views
0 comments