Harapan laksana cahaya yang menerangi ujung terowongan yang gelap.
Adolf Hitler, ketua Partai Nazi, memang dikenal sebagai pemimpin yang bengis dan kejam. Orang-orang yang dibencinya dibawa ke kamp konsentrasi. Mereka diperlakukan dengan sangat buruk. Orang-orang itu hanya menunggu untuk mati. Banyak dari mereka mati di kamar gas. Di sekeliling kamp konsentrasi itu dipasang kawat-kawat yang dialiri aliran listrik. Tidak ada seorang pun yang mampu melarikan diri dari kamp konsentrasi.
Seorang anak lelaki kecil berusia sekitar 8 tahun dan orang tuanya dibawa ke kamp konsentrasi. Ia tidak tahu mengapa dia harus tinggal di kamp konsentrasi. Hari-harinya berlangsung sangat buruk. Ia kehilangan harapan hidup. “Rasanya saya hanya menunggu saat kematian tiba,” katanya.
Suatu hari yang cerah, anak lelaki itu keluar dari kamp konsentrasi. Di balik kawat berduri, ada seorang anak perempuan cantik berambut ikal dan pirang. Perempuan yang berumur hampir sama dengannya itu tersenyum padanya. Dalam jiwanya yang gelap, senyum itu menerbitkan harapan. Anak lelaki itu balas tersenyum. Tak diduga, anak perempuan itu melemparkan sebutir apel merah. Apel itu melayang ke dalam halaman kamp. Anak lelaki kecil itu memunggutnya. Tanpa kata-kata, anak perempuan itu berbalik dan pergi.
Apel berwarna merah marun itu dipegangnya erat-erat. Apel merah simbol kebaikan gadis kecil itu seperti benang tipis yang memberinya secercah harapan. Harapan itulah yang membuatnya bertahan hidup di kamp konsentrasi itu.
Keesokan harinya, anak lelaki kecil itu kembali menunggu “temannya” datang. Gadis cantik itu memang datang lagi. Seperti sebelumnya, ia kembali melemparkan apel merah. Tak ada kata, hanya senyum yang tersungging di bibir keduanya.
Kehadiran gadis kecil yang memberinya apel itu memberinya ketahanan untuk tetap memegang tali pengharapan. Harapan itu kian nyata setelah perang berakhir dan Hitler kalah. Semua penghuni kamp konsentrasi yang masih hidup dibebaskan dan pulang ke rumahnya. Anak laki-laki itu tidak pernah melihat temannya yang murah hati itu lagi.
Anak laki-laki kecil itu bertambah dewasa. Namun, kebaikan gadis kecil yang memberinya seuntai harapan itu terus bersarang di hatinya. Rencana Tuhan memang tak dapat diduga. Singkat cerita, pemuda itu bertemu dengan seorang gadis. Setelah bercakap-cakap diketahui bahwa gadis itu pernah tinggal di dekat kamp konsentrasi tempatnya ditahan dulu.
Sambil terbata-bata pemuda itu bertanya, “Apakah kamu ingat percakapan terakhir kita?”
“Tentu saja saya ingat, kau berkata, ‘Janganlah kamu memberi apel lagi karena aku akan dipindahkan dan mungkin aku tidak bernyawa lagi,’” jawab gadis itu
Pemuda itu memandang gadis itu dengan penuh kasih sambil berkata, “Ya, akulah pemuda yang dulu kauberi apel. Kau memberiku harapan bahwa aku masih punya kehidupan. Terima kasih.”
Pasangan itu akhirnya menikah.
Dunia ini mulai kehilangan harapan. Di mana-mana dapat kita temukan mata-mata tanpa sinar yang kehilangan harapan. Harapan yang hilang di wajah para pengungsi, para korban perang, mereka yang tersingkir dan terpinggirkan.
Apakah kehadiran kita mampu memberikan pengharapan pada jiwa yang letih dan putus asa seperti yang dilakukan gadis kecil pemberi apel itu? Harapan laksana cahaya di ujung terowongan gelap. Cahaya yang menuntun seseorang untuk tetap kuat dan bertahan di dalam kegelapan hidup
Selamat membawa pengharapan dalam diri orang lain.
Ivonne Suryanto
Image by Gerd Altmann from Pixabay
69 Views
0 comments