Tiga tahun terakhir ini saya jarang sekali menggunakan sepeda motor bila berpergian. Saya lebih nyaman mengendarai sepeda. Memang, sepeda bergerak lebih lambat daripada sepeda motor. Namun, mengayuh sepeda memberi saya kesempatan memperlambat ritme kehidupan. Saya bisa menikmati pemandangan-pemandangan yang mungkin terlewatkan bila saya naik sepeda motor yang bergerak cepat. Sambil mengayuh sepeda, saya menikmati semilir angin yang menerbangkan rambut sebahu saya. Saya sungguh merasa damai dan lepas.
Naik sepeda juga membuat saya lebih mudah menyapa orang lain yang saya temui di jalan. Terkadang, saya turun dari sepeda dan mengobrol dengan mereka. Bukankah pertemuan nyata itu lebih indah dan berarti daripada berkirim pesan di WhatsApp? Bagi saya, bertemu secara langsung lebih menyentuh sisi manusiawi seseorang. Saya bisa menepuk pundak untuk menguatkan orang yang sedang sedih. Saya juga bisa menatap mata lawan bicara dan melihat keindahan di bola matanya.
Di suatu hari yang cerah, saya naik sepeda. Di depan kantor pos, saya bertemu dengan seorang ibu berhijab yang sedang menuntun sepedanya. Di belakangnya anaknya sedang asyik menikmati es buah yang baru dibelinya di penjual es di sebelah kantor pos. Saya mengamati ibu itu. Saya langsung mengenalinya. Anaknya, sebut saja bernama Tegar, tidak bisa melihat.
“Ibu, apakah Pak Tony masih mengajar di SLB?” tanya saya.
“Ya ampun, Mbak, Pak Tony sudah meninggal setahun yang lalu,” jawab ibu tadi.
Ternyata, pembicaraan kami pun melebar. Dengan penuh kebanggaan, Ibu Yati, nama ibu itu, bercerita Tegar baru saja ikut lomba membaca puisi. Tegar, putra satu-satunya yang istimewa itu diberi Tuhan banyak kepandaian.
“Anak saya tidak bisa melihat sejak usia dua bulan karena terkena tumor ganas di matanya. Namun, Tuhan sungguh mahabesar. Ia memberikan anugerah-anugerah lain yang tidak kami duga,” ceritanya dengan air mata yang tertahan di pelupuk matanya.
Bu Yati sangat berjasa bagi keberhasilan Tegar. Ia melatih Tegar mulai dari hal sederhana, yaitu duduk, berdiri, berjalan, makan, mandi, menggosok gigi, bahkan berpakaian sendiri. Sungguh perjuangan yang tidak mudah karena Tegar tidak bisa melihat apa pun. Yang ia lihat hanyalah kegelapan.
Di balik keterbatasan bocah tampan berusia 12 tahun itu, Tuhan memberikan banyak karunia. Tegar pintar bermain alat musik keyboard, menyanyi, olahraga atletik, dan catur. Ia menjadi atlet difabel yang bertanding mewakili sekolahnya di perlombaan olahraga khusus siswa difabel di Magelang, Jawa Tengah. Tegar adalah mutiara berharga bagi Bu Yati dan suaminya.
Tegar bukanlah beban dalam keluarga. Justru, Tegar memberi semangat dan kekuatan orang tuanya untuk menjalani hidup ini dengan penuh pengharapan dan mengandalkan Tuhan. Ayah Tegar mencari nafkah sebagai tukang kayu. Bu Yati sibuk mengurus rumah dan mengantar jemput Tegar ke sekolah. Keluarga sederhana ini tinggal di desa. Rumah keluarga Tegar biasa saya lewati bila saya naik sepeda menyusuri jalan kampung.
Siswa tunanetra di SLB mendapat pelajaran huruf Braille. Huruf Braille adalah sejenis sistem tulisan sentuh yang digunakan oleh tunanetra. Sistem ini diciptakan oleh seorang Prancis yang bernama Louis Braille yang buta waktu kecil. Setiap huruf memiliki titik-titik yang berbeda. Selain itu, ada mesin ketik reglet, yaitu mesin ketik khusus untuk mengetik huruf Braille. Tegar belajar huruf Braille dengan susah payah.
Di rumah, Bu Yati biasanya mendampingi belajar Tegar. Ia berperan sebagai guru les privat. Wanita berhati sekeras baja ini mengulang kembali pelajaran yang didapat Tegar di SLB bagian A. Selama mengajari permata hatinya itu, Bu Yati kerap tidak sabar. Tentu saja bagi Bu Yati yang matanya awas, membaca bukanlah hal yang sulit. Namun, kondisi Tegar berbeda. Putra kesayangannya itu mesti berjuang keras untuk mengenali titik-titik dan menghafalkan huruf-huruf Braille itu.
Nurani Bu Yati tergugah. Saya tercengang ketika ia berkata, “Mbak, saya menutup kedua mata saya dengan kain hitam. Saya merasakan sendiri bagaimana rasanya menjadi orang tunanetra. Saya jadi tahu bagaimana sedih dan sepinya mereka yang tak mampu melihat cahaya itu. Lalu saya menangis. Saya menyesal sebab saya kerap tidak sabar mendidik anak saya.” Begitulah ia bercerita dengan pilu.
Sejak mengalami sendiri bagaimana rasanya hidup dalam ketiadaan cahaya, Bu Yati bersikap lebih lunak pada Tegar. Ia bisa merasakan apa yang dirasakan putranya. Bu Yati ingin membantu putranya dengan segenap kemampuan yang dimilikinya. Sungguh besar kekuatan cinta seorang ibu.
Keesokan harinya, Bu Yati masuk kelas Tegar. “Pak, saya mau ikut belajar huruf Braille, supaya saya bisa mengajari anak saya di rumah,” pintanya kepada guru Tegar yang langsung merasa terharu dengan pengorbanan Bu Yati.
“Baiklah, Bu. Ibu boleh masuk kelas saya dan belajar Braille,” jawab guru Tegar.
Maka, perempuan desa yang sederhana itu ikut belajar di kelas bersama teman-teman Tegar. Ia tak merasa malu belajar dengan anak-anak.
Sembari mengayuh sepeda sepulang mengantar dan menjemput Tegar sekolah, perempuan berhati sekuat karang itu menghafalkan huruf Braille. Di waktu luangnya setelah memasak dan mencuci, wanita yang tak pernah mau menyerah itu menghafalkan huruf Braille. Ia menyentuh titik-titik dan menghafalkan huruf-hurufnya. Bu Yati mendapat pelajaran berharga.
“Mbak, jari-jari kita diciptakan Tuhan begitu istimewa. Ada bagian-bagian jari yang memiliki kepekaan. Itulah yang membantu tunanetra belajar huruf Braille. Sungguh luar biasa dan indah ciptaan Tuhan itu, Mbak,” kagumnya.
“Pak Guru, bagaimana bila kita saling berkirim surat dengan huruf Braille?” pinta Bu Yati.
Pak Guru tersenyum kala mendengar permintaan ibu Tegar itu. “Baiklah, Bu, nanti malam saya akan menulis surat untuk Ibu dengan huruf Braille. Besok, giliran Ibu yang membalas surat saya juga dengan huruf Braille,” sarannya.
Bu Yati mengucapkan terima kasih atas kebaikan dan pengertian “penyala lentera” itu.
Dalam keheningan malam setelah pekerjaan rumah tangga selesai, Bu Yati menulis cerita dalam huruf Braille. Ia menatap Tegar yang sedang terlelap di sebelahnya sambil berkata, “Semuanya Ibu lakukan untukmu, Nak. Engkaulah karunia terindah dalam hidupku.”
Pengorbanan dan ketekunan Bu Yati belajar dan mengajari Tegar untuk menulis dan membaca dengan huruf Braille membuahkan hasil yang menggembirakan. Kini, Tegar sudah lancar membaca dan menulis huruf Braille.
Cerita perjuangan ibu untuk anak istimewa itu membuat saya meneteskan air mata haru. “Tegar kelas berapa?” tanya saya.
“Sudah kelas 6 SDLB, Mbak.”
“Lalu, rencana mau melanjutkan SMP di mana?”
Ibu itu mengelap air mata dengan sapu tangannya. “Tegar ingin belajar di SMPLB dan tinggal di asrama khusus tunanetra di Yogyakarta. Namun, kami tidak punya biaya, Mbak. Padahal, saya ingin Tegar bisa mandiri setelah orang tuanya tiada,” tuturnya miris.
Saya menepuk pundak ibu itu dan berkata, “Semoga Tuhan membukakan jalan untuk Tegar.”
“Terima kasih, Mbak,” jawabnya.
Dua orang hebat yang mengajari saya keindahan hidup itu pun berlalu dari pandangan saya tetapi terus tinggal dalam hati saya.
Mendengar cerita pengalaman ibu Tegar, saya memetik dua pelajaran berharga. Pertama, betapa mudahnya kita meremehkan seseorang yang memiliki keterbatasan fisik, padahal perjuangan mereka begitu berat. Kedua, tidak ada kasih yang menandingi kekuatan kasih seorang ibu.
Terima kasih, Bu Yati dan Tegar, atas cerita perjuangan hidup tak kenal menyerah yang menyegarkan jiwa saya.
Sembari pulang saya bersenandung, “Kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi tak harap kembali. Bagai sang surya menerangi dunia.”
Ivonne Suryanto
Ilustrasi: www.iberdrola.com
06 Mei 2022
24 Maret 2022
08 April 2021
93 Views
0 comments