Pertunjukan monolog seniman asal Yogyakarta, Butet Kertaredjasa, menyita perhatian dan menguras tawa penonton malam itu. Tawa dan tepuk tangan penonton yang riuh terdengar, seolah memberikan komentar dari apa yang ia katakan. Tak ada dialog, tak ada kata-kata yang terdengar dari penonton, dan hanya Mas Butet yang berkata-kata sendirian.
Komunikasi atau penyampaian pesan dalam pertunjukan monolog tersebut tidak akan berhasil jika penonton tidak mendengarkan. Oleh karena itu, mendengarkan adalah unsur pertama yang sangat diperlukan dalam komunikasi. Namun, apakah berkomunikasi secara monolog adalah yang diharapkan oleh Paus Fransiskus dalam Hari Komunikasi Sosial Dunia ke-56 tahun 2022 ini?
Pada tahun 2021, Paus Fransiskus memberikan pesan kepada kita untuk “Datang dan Melihat”. Berjumpa dengan orang-orang untuk mengalami peristiwa dan menyaksikan kebenaran, tidak hanya melihat dan menceritakan kembali dari tayangan berita atau cerita di televisi. Selanjutnya, pada tahun 2022, Paus Fransiskus mengajak kita untuk melengkapi pewartaan dari apa yang telah kita jumpai dan yang telah kita lihat. Berkomunikasi dan mendengarkan dengan telinga hati.
Studi yang dilakukan oleh James S. O’Rourke dari University of Notre Dame pada tahun 2001, menyebutkan bahwa rata-rata orang menghabiskan 70% waktu dalam satu hari untuk melakukan komunikasi. Sementara itu menurut Nichols dan Steven (1957), 45% waktu dalam melakukan komunikasi tersebut dihabiskan untuk mendengarkan. Sisanya, 30% untuk berbicara, 25% untuk membaca dan menulis, sehingga bukan tanpa alasan jika Paus Fransiskus memberikan perhatian pada persoalan yang esensial dalam komunikasi, yaitu mendengarkan.
Joseph A. Devito pada tahun 2013 menulis sebuah buku dengan judul The Interpersonal Communication Book. Dalam buku tersebut, dijelaskan mengenai hal-hal yang dapat diperlukan untuk mencapai komunikasi interpersonal (komunikasi antara dua orang atau lebih) yang baik dan efektif: (1) sikap partisipatif untuk mendengarkan lawan bicara dengan penuh perhatian, (2) sikap empati dalam komunikasi tersebut, (3) sikap objektif dan kritis untuk menghindari bias selama proses komunikasi berlangsung, dan (4) sikap mendengarkan secara mendalam untuk memperoleh kejelasan informasi.
Menambahkan tulisan Devito, Seruan Apostolik Christus Vivit pada 2019 menyebutkan tiga jenis kepekaan yang berbeda dan saling melengkapi dalam komunikasi interpersonal yang kemudian terangkum dalam “dialog”. (1) Kepekaan pribadi yang ditunjukkan dengan waktu yang kita berikan kepada orang lain. (2) Kepekaan rohani untuk memilah antara rahmat dan cobaan ketika dialog berlangsung. (3) Kepekaan mendengarkan untuk mengikuti pengalaman orang lain “ke depan” (Art. 292 – 294). Lalu, bagaimana dengan realitas mendengarkan dalam proses komunikasi dan dialog pada masa sekarang ini?
Kemajuan teknologi yang ditandai dengan makin maraknya penggunaan gawai saat ini turut menyumbang akan rendahnya kualitas mendengarkan dalam komunikasi interpersonal atau dialog sehari-hari. Hilangnya keheningan dan sikap mendengarkan, dan semuanya diubah menjadi ketikan dan pesan singkat yang tidak sabar, struktur dasar komunikasi manusia yang bijak terancam (Fratelli Tutti, 49).
Banyak orang yang sekarang lebih fasih mengetikkan kata-kata dalam kolom komentar daripada harus mendengarkan dan berbicara secara langsung dalam sebuah forum diskusi. Atau, meskipun dialog dilakukan secara tatap muka, banyak kejadian ketika dialog menjadi perdebatan karena mudahnya memotong pembicaraan agar pemikirannya segera diterima oleh lawan bicara. Banyak orang tidak lagi memperhatikan siapa dan apa yang didengarkan, serta bagaimana cara mendengarkan yang baik. Banyak orang menjadi lebih cepat dalam menanggapi sesuatu dan mengambil kesimpulan tanpa melihat dan mendengar terlebih dahulu. Bagaimana agar dapat mendengarkan dengan baik?
Pertama, kesiapan fisiologis dan psikologi dalam mendengarkan dan berkomunikasi dengan baik, sangat dibutuhkan. Beragam teknik atau cara juga telah banyak dibagikan dan dituliskan oleh para ahli komunikasi hingga saat ini. Namun, keterbukaan hati yang memungkinkan kedekatan (bdk. Evangelii Gaudium, 171) adalah yang dibutuhkan sekarang ini. Dengan keterbukaan hati, kita diharapkan mampu untuk mendengarkan yang sebenarnya.
Kedua, selalu berpikiran terbuka dalam menanggapi setiap pembicaraan yang terjadi dan mengutamakan empati. Mencoba menyelami pikiran dan perasaan lawan bicara merupakan langkah baik dalam mendengarkan secara aktif sehingga untuk mendorong keterbukaan dan empati tersebut, penghambat komunikasi baik eksternal dan internal harus dihilangkan. Penghambat eksternal yang dimaksud seperti kebisingan di sekitar tempat berlangsungnya dialog, pesan yang terlalu banyak serta pesan yang kompleks atau rumit dan penghambat internal diantaranya adalah prasangka, sikap terlalu reaktif, dan sikap tidak berusaha mendengarkan.
Ketiga, tidak memotong pembicaraan dan mengambil kesimpulan secara tergesa-gesa sebelum lawan bicara selesai menyampaikan pembicaraannya. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Devito sebelumnya yang mengajak kita untuk selalu bersikap objektif dan kritis untuk menghindari bias selama proses komunikasi berlangsung.
Sebagai penutup, ajakan Paus Fransiskus untuk menjalankan “kerasulan telinga” – mendengarkan sebelum berbicara seperti nasihat Rasul Yakobus: “Biarlah setiap orang cepat mendengar, lambat berbicara” (Yak. 1: 19) menjadi tantangan tersendiri di tengah derasnya arus teknologi saat ini. Berdialog, berkomunikasi, dan mendengarkan dengan “telinga hati”, menjadi akar perdamaian. Terus berdialog, tidak hanya bermonolog. Ini bukan monolog mas Butet yang hanya kita dengar tanpa kita memberi jawab. Beati oculi, quia vident, et aures vestrae, quia audient. Berbahagialah matamu karena melihat dan telingamu karena mendengar (Mat. 13: 16).
Hario Prabowo
Ketua Lingkungan St. Yohanes Berchmans, Paroki St. Aloysius Gonzaga Mlati, Sleman
Pengurus Berkhat Santo Yusup (BKSY) Paroki St. Aloysius Gonzaga Mlati, Sleman
Ilustrasi: www.piqsels.com
Dalam pemahaman saya, ini karya tulis yang bagus; dari segi tema dan penyampaian pendapat.Saya telah membaca beberapa karya penulis di beberapa media lainnya.Seandainya memungkinkan, ada baiknya jika penulis bisa mendapatkan "tempat" tetap di majalah UTUSAN, agar bisa ikut serta menyampaikan ulasannya seputar tema-tema atau kegiatan Gereja Katolik, baik klerus maupun awam.Berkah Dalem.