Ini kedua kalinya aku mampir ke warung ijo di jalan raya Karanganyar menuju Tawangmangu. Mataku tertuju langsung kepada satu jenis hidangan sayur yang kugandrungi, urap. Kacang panjang, kubis, wortel, taoge, terkadang ditambah beluntas atau kemangi bercampur dengan kelapa parut, menurutku adalah menu paling tepat untuk menyambut hari penuh aktivitas yang menyita energi.
Urap selalu mampu membuatku meloncat ke masa silam, saat aku dan beberapa teman terkikik di pojok punden dekat rumah nenekku. Satu besek sajen yang disiapkan oleh tetangga yang akan menikahkan anaknya sudah berpindah ke tangan kami.
Nenek sudah memperingatkanku beberapa kali untuk tidak mengulang pencurian sajen, tetapi selalu saja gagal. Nenek selalu mengatakan bahwa mencuri sajen bisa membuat Nyai Danyang desa kami marah. Salah satunya berupa demam mendadak atau sakit perut yang harus dibawa ke mantri untuk berobat.
Jumini, keponakanku, paling sering sakit perut setelah makan sajen curian. Namun begitu, mencuri sajen dari punden tetap terasa lebih nikmat daripada membuka tudung saji di dapur rumah kami.
Urap yang menggunung di besek yang dialas daun jati selalu terlihat menggiurkan bagiku. Lauk lainnya sudah diincar teman yang mengikuti jejakku mencuri sajen. Paridi mengincar telur ayam negeri yang direbus matang, Nuril memilih mi goreng yang dicampur kubis, dan Jumini selalu mau ayam goreng.
Mungkin aku menyukai urap karena filosofinya mirip dengan keluargaku. Berbeda namun bersatu dan enak disantap. Karena ibuku harus kuliah, maka aku dibesarkan bersama di rumah Nenek dengan enam orang anak dari Budhe dan Pakdhe. Kebersamaan yang memberikan banyak pelajaran bagiku.
Pakdheku yang seorang biksu selalu murah hati. Tak sekadar oleh-oleh dari kota besar, namun juga beasiswa bagi para keponakannya yang bersekolah. Budheku yang Katolik taat selalu mengirim beras dan susu untuk kami. Paklik berbeda lagi. Dari rumahnya yang mewah di Jakarta, aku mendapat kiriman buku yang mengenalkanku pada Majalah Si Kuncung, Ananda, dan novel Lima Sekawan.
Aneka sayuran di urap seperti pelbagai kepercayaan yang diyakini oleh keluarga besarku. Pelbagai kepercayaan tidak membuat kami terpisah, justru sebaliknya. Aku tak asing dengan mereka yang berpuasa, merayakan Waisak, dan Paskah di gereja. Merayakan hari-hari besar bersama, keluar masuk rumah ibadah satu sama lain dengan tawa, dan berbagi kesenangan tanpa takut penghakiman mengisi kenangan masa kecilku, seperti pelangi.
Bukankah urap itu makanan kita banget? Seperti halnya pecel, gado-gado, atau vegetable salad with peanut sauce kalau di kedai makanan yang harganya menjadi lebih mahal karena menunya ditulis dengan bahasa Inggris. Urap terasa tepat untuk menjawab debat memuakkan tentang cara menyatukan warga negara Indonesia.
Semua sayuran di tangan pemasaknya matang merata, tak ada yang lebih keras ataupun lebih lembek, tak ada yang terlihat lebih mencolok atau dipandang kurang dari yang lainnya. Indra kita selalu mampu membedakan rasa kacang panjang, wortel, taoge, atau bahkan wangi kemangi yang terkadang ditambahkan. Seandainya masing-masing sayuran itu diwawancarai sebelum disantap, maka kurasa kita akan menemukan jawaban yang mengagumkan dari masing-masingnya.
“Aku ingin manusia memperoleh beta karoten dariku,” kata wortel sambil tersenyum. Matanya berbinar cerah.
“Aku membantu manusia memperoleh protein yang akan mendukung regenerasi sel mereka,” kacang panjang menyela sambil tertawa renyah.
“Kandungan zat besiku tak bisa diremehkan, engsel manusia perlu aku supaya tulang mereka tetap kuat,” kangkung tak kalah semangat.
“Vivo estrogenku sangat penting bagi mereka yang ingin subur,” kata taoge sambil terkekeh dan matanya yang mungil menyipit.
Mereka hanya memiliki satu tujuan yaitu memberi yang terbaik bagi manusia tanpa harus berebut popularitas dengan lainnya. Sungguh berbeda dengan manusia yang rajin sikut, sodok, dan kalau bisa saling gigit supaya terlihat lebih kuat daripada yang lainnya.
Sesuap urap masuk ke mulut. Rasanya pas, tepat, dan terasa menyatu dengan enzim di mulut. Mungkin demikian seharusnya dengan kita di Indonesia. Keberagaman dan kesatuan tak harus bicara tentang mayoritas-minoritas, ras rambut lurus-rambut keriting, kulit cokelat-putih, menyembah Tuhan dengan bersujud atau menyanyi, namun masing-masing menjadi manusia yang berharga.
Sri Rejeki Swandayani
Pegiat botani di Rumah Atsiri, Karanganyar
96 Views
0 comments