Hari baru datang lagi, membawa sukacita dan juga harapan akan sebuah kehidupan yang lebih indah daripada hari kemarin. Matahari terbit pada pagi ini bukannya tanpa alasan. Ia ingin agar semua orang yang terkena cahayanya mempunyai semangat untuk selalu mensyukuri hidup meskipun dalam laku yang sederhana.
Suara lonceng yang berdentang tujuh kali tadi pagi membangunkan aku dari tidurku, memaksaku untuk segera meninggalkan dipan yang terasa begitu nyaman. Di luar sana, matahari belum juga tampak, hanya ada sedikit suara kicauan burung yang menembus heningnya pagi ini.
Terbangun pagi adalah sebuah berkat yang begitu besar bagiku. Bahagia rasanya ketika sadar ternyata aku masih bisa bernapas dan kulitku ternyata masih merasakan dinginnya pagi ini. Kata yang paling tepat untuk mengungkapkan kegembiraan itu adalah terima kasih. Berterima kasih untuk segala hal sederhana namun begitu penting bagiku, contohnya adalah bangun pada pagi hari ini.
Langkah-langkah kecilku berusaha menyusuri lorong-lorong seminari yang masih samar-samar dalam gelapnya pagi. Namun, dalam gelap itu ada keheningan yang begitu menenangkan jiwa, membuatku bersemangat untuk melaksanakan meditasi alam pagi ini, mencoba menemukan Tuhan dalam kehadiran nyata alam.
St. Ignasius Loyola pernah mengatakan hal ini, dengan bahasa yang lebih sederhana namun bermakna dalam, “Mencoba menemukan Tuhan dalam segala hal.” Kata-kata yang hanya bisa diucapkan oleh seorang yang telah memiliki kedalaman rohani yang tinggi. Dengan kesadaran penuh akan dangkalnya hidup rohaniku, aku pun mencoba mengikuti arahan St. Ignasius Loyola, menemukan Tuhan dalam segala hal.
Kadang-kadang muncul rasa bingung, karena dalam kenyataan yang aku alami pagi ini ternyata ada begitu banyak hal di sekitarku. Cukup untuk membuatku bingung memilih satu di antara ratusan bahkan ribuan kemungkinan yang disediakan bagiku. Namun, pada akhirnya aku harus memilih supaya aku dapat segera bermeditasi.
Entah alasan apa, akhirnya aku memilih ikan nila sebagai objek meditasiku pagi ini. Mungkin karena tiba-tiba saja aku mendapati diriku sudah berada di pinggir kolam ikan nila. Tanpa menunggu lama, aku pun mencoba untuk duduk sambil memejamkan mata, mencoba menggali makna kehidupan dari puluhan ikan nila yang sedang berenang dengan tenangnya di depanku.
Ikan nila adalah salah satu dari jutaan jenis ikan yang ada di dunia ini. Seperti kebanyakan ikan lainnya, mereka hidup di dalam air dan bernapas menggunakan insang. Sebagai seekor ikan, tentunya ikan nila ini dituntut untuk pandai berenang, karena bagaimanapun juga mereka adalah ikan yang sehari-harinya hanya berenang dan berenang. Akan menjadi aneh jika ada ikan yang terlahir dengan tidak pintar berenang.
Untuk dapat berenang, sang ikan nila menggoyang-goyangkan sirip dan ekor yang ada di tubuhnya. Dengan cara ini mereka dapat terus berada di dalam air. Hal yang menarik perhatianku dari ikan nila yang berenang itu adalah harus terus menggerakkan sirip dan ekornya. Kalau tidak, mereka tidak akan bisa berenang dengan baik.
Hal ini kemudian coba untuk kurefleksikan dalam meditasi alam pada pagi hari ini yaitu mengenai pentingnya untuk terus bergerak. Gerak merupakan hal yang sangat penting bagi setiap makhluk hidup. Baik tumbuhan, hewan, dan manusia membutuhkan gerak dalam hidupnya karena gerak menjadi semacam tanda kehidupan. Makhluk hidup yang masih bergerak dianggap masih memiliki kehidupan.
Manusia dalam hidupnya memberi makna yang lebih mendalam dari gerak ini. Gerak tidak hanya menjadi sebatas tanda kehidupan, tetapi menjadi sebuah hal wajib dalam hidup ini. Seperti halnya ikan nila, jika ia tidak menggerakkan siripnya, maka kemampuan berenangnya akan berkurang.
Kehidupan di seminari dengan segala bentuk aktivitas yang sudah diatur sedemikian rupa setiap harinya membuatku memahami lebih mendalam mengenai arti gerak itu. Bahwa kehidupan sebenarnya tidak jalan di tempat, tetapi selalu ada ritme yang menuntut setiap orang yang terlibat di dalamnya untuk dapat terus bergerak mengikuti perputaran waktu.
Meskipun pada akhirnya rutinitas sehari-hari hanya semacam sebuah pengulangan dari aktivitas kemarin, namun aku menikmati hal itu meskipun telah kulakukan selama bertahun-tahun. Aku belajar bahwa terus bergerak dalam rutinitas harian yang sama memang membawa kebosanan dan kejenuhan, tetapi ketika semuanya dilakukan dalam sukacita, rasa bosan dan jenuh itu akan terlupakan.
Dalam Kitab Suci, khususnya Injil, kita akan sering menemui bagaimana Yesus menyuruh orang untuk senantiasa bergerak. Dalam kisah penyembuhan-Nya, kata yang sering keluar dari mulut Yesus setelah menyembuhkan orang adalah “pergilah”, atau “angkatlah tilammu”. Ini menjadi tanda bahwa Yesus menyuruh kita untuk tidak diam di tempat. Kata “pergi” menjadi ajakan untuk terus bergerak.
Kita tidak boleh hanya sebatas diam atau pasif tak berbuat apa-apa. Kehidupan kita harus senantiasa dimaknai dalam gerak kita sehari-hari. Di masa pandemi ini mungkin kita menemukan atau merasakan aktivitas harian yang jauh berbeda dibanding sebelumnya. Kita yang dulu bebas ke sana kemari kini mulai dibatasi ruang geraknya. Anjuran dari pemerintah untuk tetap tinggal di rumah membuat ruang gerak kita menjadi terbatas.
Pada saat-saat seperti itu kadang banyak orang yang akhirnya menjadi bingung harus berbuat apa. Tidak banyak hal yang ternyata tidak bisa dilakukan hanya dari rumah saja. Kalaupun ada pekerjaan, rasanya pasti akan berbeda jika dikerjakan hanya dari rumah dibanding dengan di tempat kerja. Singkat kata, pandemi COVID-19 telah merenggut pergerakan kita.
Namun, apakah hal ini menjadi suatu alasan bagi kita untuk berhenti bergerak? Jelas tidak! Justru pada masa sekarang ini kita harus semakin memaknai hidup dalam gerak yang terbatas itu. Bagaimana dalam segala keterbatasan kita saat ini kita mampu menciptakan hal-hal yang lebih bermanfaat, lebih kreatif, lebih bermakna?
Tinggal di rumah bukan berarti pasif, tetapi harus aktif. Banyak hal yang pada masa biasa sebelum pandemi kita tidak lakukan, dapat kita lakukan saat ini. Yang jelas bahwa kita harus dapat terus bergerak. Akhirnya, belajar dari ikan nila yang senantiasa terus bergerak agar dapat tetap mengapung di air, kita pun sebagai manusia harus senantiasa bergerak dalam aktivitas sehari-hari.
Ada kalanya kita memang perlu diam sejenak dalam doa yang menenteramkan, membiarkan Tuhan yang menggerakkan hati kita. Gerak dalam laku hidup harus senantiasa menjadi cerminan kehidupan kita. Kita bebas memilih, ingin diam atau tetap bergerak. Semuanya ada konsekuensinya, tetapi pilihlah yang terbaik bagi diri kita.
Ilustrasi: Bambang Shakuntala
39 Views
0 comments