Wacana Merdeka Belajar yang didorong oleh Mas Menteri Nadiem Makarim sungguh mengemuka dalam dunia pendidikan kita. Di satu sisi, wacana tersebut menjadi angin segar bagi perbaikan dunia pendidikan, namun di sisi yang lain tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi dunia pendidikan kita masih carut marut. Antara lain kesenjangan sarana prasarana pendidikan di banyak wilayah, kebijakan pendidikan yang belum mengakomodir keberagaman, dan kesenjangan perhatian pemerintah terhadap sekolah negeri dan swasta. Ketersediaan guru yang belum merata di tiap daerah, rerata kompetensi guru yang masih rendah, dan banyaknya guru honorer dengan masa depan yang belum jelas, adalah masalah-masalah yang juga melilit dunia pendidikan. Dunia pendidikan kita masih menempatkan guru pada posisi yang harus menanggung banyak tuntutan yang membebani. Mereka harus memenuhi banyaknya tuntutan administratif. Para guru juga menjadi tumpuan bagi kebanyakan orang tua untuk menjadikan anak-anak mereka pandai dan berahlak mulia. Para guru menanggung tumpang tindih kebijakan di bidang pendidikan antara pusat dan daerah. Selain itu, para guru juga tidak jarang menjadi kambing hitam terkait dengan rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
Kembali pada wacana Merdeka Belajar, tantangannya adalah bagaimana wacana tersebut melahirkan kejelasan konsep, sehingga menjadi dasar implementasi secara luas dan serentak. Merdeka Belajar cenderung menjadi tagline yang menyasar mitra didik (siswa). Mestinya wacana tersebut menyasar pada seluruh stakeholder pendidikan, termasuk para guru di dalamnya. Asumsinya, Merdeka Belajar terjadi ketika ada interaksi intensif antara mitra didik merdeka dan guru merdeka. Apakah dunia pendidikan kita sudah memiliki guru-guru merdeka?
John Dewey menyatakan bahwa sesungguhnya guru adalah pemelajar yang berinteraksi secara intensif dengan mitra didik agar mampu mengenali pengalaman, bakat-bakat, dan budayanya. Dengan demikian guru mampu memfasilitasi mitra didik untuk mengembangkan dirinya (John Dewey, 1938). Senada dengan Dewey, Paulo Freire mengungkapkan bahwa guru adalah fasilitator yang menumbuhkan kesadaran dan ketergerakan hati mitra didik terhadap persoalan hidup yang menghimpit, sehingga guru mampu mendorong mereka menjadi agen perubahan sosial (Freire, 2000). Baik Dewey maupun Freire menegaskan bahwa pembelajaran merupakan proses berdemokrasi yang menekankan interaksi egaliter (setara), bebas, dan bersaudara demi kemajuan peradaban.
Terinspirasi oleh dua tokoh pendidikan di atas, YB Mangunwijaya menekankan pentingnya meletakkan hati dalam proses pembelajaran. Hal ini ditegaskan dalam sebuah pernyataan, “Di mana hati diletakkan, di situ proses belajar dan maju mulai.” Pernyataan ini mengungkapkan sebuah keyakinan bahwa proses belajar berjalan ketika mitra didik memiliki perhatian, rasa kagum, dan heran pada hal-hal yang dijumpainya. Oleh karena itu peran utama guru bagi Mangunwijaya adalah memfasilitasi mitra didik untuk menumbuhkan perhatian, rasa kagum, heran, dan bertanya. Berani dan mampu menyampaikan pertanyaan-pertanyaan merupakan tanda berkembangnya bakat-bakat anak dalam bereksplorasi, berkreasi, dan memekarkan diri secara integral.
Demi terwujudnya proses pembelajaran yang memicu mitra didik untuk bereksplorasi, berkreasi, dan memekarkan diri secara integral dibutuhkan hadirnya guru-guru merdeka. Lantas, bagaimana menghadirkan guru-guru merdeka masa kini? YB Mangunwijaya dengan Yayasan Dinamika Edukasi Dasar yang dirintisnya mengujicobakan praksis pendidikan dasar yang memerdekakan untuk menemukan sistem pendidikan yang memekarkan mitra didik secara eksploratif, kreatif, dan integral. Praksis pendidikan dasar yang bertujuan untuk memekarkan anak tentu juga terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Praksis semacam ini bisa terjadi karena didukung oleh guru-guru merdeka.
Pada kesempatan Hari Guru Nasional ini Yayasan Dinamika Edukasi dasar bekerjasama dengan Program Studi Magister Ilmu Komunikasi UAJY, Fakultas Teologi USD, dan Komisi Pendidikan KAS berprakarsa untuk mengapresiasi para guru sebagai para pendidik bangsa. Sebagian kecil perjuangan para pendidik bangsa ini terekam dalam sharing singkat pengalaman beberapa guru dari Jawa, Pangkal Pinang, Sintang Kalimantan Barat, Mappi Papua, Atambua, dan Maluku Barat. Mereka mengungkapkan jerih payah dan upaya menjadi guru merdeka.
Diskusi tentang Guru Merdeka akan diperkaya oleh para narasumber dengan perspektif yang beragam. Para narasumber yang berasal dari berbagai disiplin ilmu dan latar belakang ini akan mengungkapkan pergumulannya menjadi Guru Merdeka, pendasaran filosofis guru merdeka, tantangan menjadi Guru Merdeka, pengembangan guru kreatif, dan kebijakan politik dalam dunia pendidikan.
GURU MERDEKA
“Merdeka Berkreasi, Merdeka untuk Menginspirasi”
Talkshow daring apresiasi terhadap pendidik bangsa di Hari Guru Nasional
Tempat : Zoom Meeting, Rabu 25 November 2020
Meeting ID : 945 8376 6353
Passcode : mikuajy
Live : Channel Youtube ‘Sekolah Eksperimental Mangunan’
Waktu : Pukul 15.00 – 17.00 WIB
Tautan pendaftaran : https://bit.ly/talkshowgurumerdeka
Penyelenggara:
Yayasan Dinamika Edukasi Dasar, Yogyakarta
Program Studi Magister Ilmu Komunikasi UAJY
Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Komisi Pendidikan Keuskupan Agung Semarang (KAS)
Narasumber:
- Prof. Djohan M.Si (Guru Besar ISI Yogyakarta)
- My Esti Wijayanti (Anggota Komisi X DPR RI)
- Dr. CB. Mulyatno, Pr (Dosen Fakultas Teologi Univ. Sanata Dharma)
- Sri Roviana S.Ag. MA (Aggota Majelis PP Aisyiyah)
- Y. Carol Kurnia Awan VJ (Guru SDE Mangunan)
- Clara Phaluphie S.Pd (Guru Pesantren Bumi Cendekia)
Host: Dr. Phil. Lukas S. Ispandriarno (Kaprodi Magister Ilmu Komunikasi UAJY)
Narahubung: Rian (0853 4908 5242)
935 Views
0 comments