Pengalaman apakah yang membuat Anda yakin bahwa Tuhan kita ada dan nyata? Pengalaman saya mungkin sederhana, tetapi Dia betul-betul menyentuh saya. Pengalaman saya bersama Tuhan dimulai saat saya masih duduk di bangku TK. Saat itu saya mendengar kisah Yesus dari guru sekolah Minggu. Saat saya berusia 4 tahun, adik saya yang berumur 1 tahun masih belajar berjalan. Karenanya, dia suka jatuh tanpa sebab.
Ibu kami biasanya sedang berada di dapur ketika hal itu terjadi, sedangkan saya biasanya sedang bermain di ruang keluarga. Adik saya sedang belajar berjalan dan jatuh sendiri. Kalau adik saya menangis karena jatuh, Ibu saya sering berteriak, “Deasy, jangan ganggu Adik!”
Saya ingat Ibu cukup sering melakukan itu lantaran saya sering menjahili adik saya. Meski Adik saya sering menangis bukan karena saya ganggu, Iibu tetap menyalahkan saya. Saya memang usil. Namun, saya tidak mau dimarahi atas sesuatu yang bukan perbuatan saya. Saya pun berdoa, “Tuhan, kalau Tuhan beneran ada, bantu saya ‘melawan’ ibu saya.”
Beberapa saat kemudian, muncul kejadian yang membuat saya disalahkan. Saat itu spontan saya berteriak, “Bukan salah saya! Adik jatuh sendiri tersandung kipas angin!”
Ternyata Ibu mau mengerti. Seketika saya langsung teringat doa saya. Saya langsung tersadar bahwa ini pekerjaan Tuhan. Dia memampukan saya berbicara untuk membela diri. Sejak saat itu saya percaya Dia ada dan berkuasa.
Saya diajari oleh Ayah agar jangan bertele-tele kalau berbicara, melainkan to the point. Karena itu, doa saya tidak “cantik” karena tidak didandani, tetapi tulus dan jujur dari lubuk hati. Pengalaman selanjutnya ketika saya minta ponsel dan dikabulkan persis sesuai dengan permintaan saya walaupun melalui cara yang tidak enak.
Saat itu saya baru dibelikan ponsel berlayar monokrom. Namun, ponsel yang saya inginkan layarnya berwarna. Setelah saya berdoa meminta ponsel berwarna dengan menyebut lengkap dengan tipe dan serinya, tas saya hilang dicuri orang. Ponsel dan dompet saya hilang. Lalu, paman saya memberi ponsel bekas yang serinya persis sama dengan yang saya minta dalam doa. Tuhan mendengar setiap kata yang kita ucapkan.
Saya menceritakan hal ini kepada keluarga saya. Tentang doa saya dan cara-Nya yang “ngeri-ngeri sedap” dalam mengabulkan doa saya. Eh, ternyata adik saya berniat mencoba. Dia berdoa, “Tuhan, saya minta ponsel, saya perlu buat lihat jam.”
Suatu hari, tidak lama dari doa aneh itu, Adik mendapat jam tangan dari kakek kami. Lalu, dia teringat doa itu. “Tuhan kasih yang tepat, bukan? Kalau kamu butuh lihat jam, ya, yang kamu perlukan itu jam tangan, bukan ponsel,” kata saya dengan tawa berderai.
Ada lagi pengalaman saya dengan Tuhan. Kakak ipar saya lulusan S-1 dari sebuah perguruan tinggi di Australia dengan biaya dari orang tuanya. Katanya, sekolah empat tahun menghabiskan dana dua miliar. Saya memang punya mimpi sekolah di luar negeri. Namun, orang tua saya bisa menyekolahkan saya sampai selesai jadi dokter saja sudah sangat bersyukur. Saya kuliah di jurusan Kedokteran di Universitas Udayana (UNUD) Bali tahun 2002 dengan paket ekonomis. Uang pangkal, uang sumbangan, dan biaya kuliah enam tahun total kurang dari 30 juta rupiah.
Atas dasar kesal kepada Tuhan kenapa saya tidak mampu sekolah di luar negeri, saya pun berdoa, “Yesus, katanya tangga surga dibuat dari emas. Beri saya secuil tangga-Mu. Saya ingin lihat uang dua miliar rupiah. Saya belum pernah lihat uang sebanyak itu.”
Namun, saya pun ingat betapa (tidak) lucunya Tuhan sewaktu saya diberi “tulah” sebelum doa saya dikabulkan, seperti dompet dan ponsel saya yang hilang sebelum diberi ponsel yang saya inginkan. Maka, doa pun saya tambahkan, “Tetapi saya tidak mau Engkau kasih penyakit. Jangan kasih ketidakberuntungan buat orang sekitar saya yang bakal memerlukan uang itu. Kasih saya dua miliar, itu buat sekolah saja, Tuhan. Buktikan, Tuhan, kalau cuilan emas-Mu itu boleh saya nikmati juga.”
Setelah lulus kuliah dan bekerja sebagai dokter di daerah terpencil di Nusa Tenggara Timur, saya dan suami hidup mandiri secara finansial, tidak minta uang lagi kepada orang tua. Suami ingin mengambil PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis). Namun, dokter yang sedang sekolah spesialis tidak digaji dan tidak boleh praktik. Maka, mustahil kami bisa bersekolah bersamaan. Kami lalu membawa perkara ini dalam doa. Kami berpikir untuk bergiliran bersekolah. Kalau suami lulus seleksi duluan, maka dia sekolah dan saya akan bekerja untuk membiayai sekolahnya, atau sebaliknya. Suami saya pun mendaftar pengajuan beasiswa untuk jadi dokter spesialis dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, sedangkan saya mendaftar pengajuan beasiswa dari pemerintah Australia untuk kuliah S-2 di sana.
Dari 3.500 orang pelamar beasiswa Australia, hanya 10% yang dapat, termasuk saya. Beberapa bulan kemudian, suami ikut seleksi pendidikan dokter spesialis dan diterima di Bali. Kami berpikir, karena berbekal beasiswa, maka tidak baik kalau kami mengundurkan diri. Kami harus tetap menjalaninya walau dengan konsekuensi harus hidup berjauhan.
Sebelum diberangkatkan ke Australia, penerima beasiswa harus menandatangani kontrak berisi ketentuan beasiswa. Dalam kontrak disebutkan bahwa besaran beasiswa saya dalam dolar Australia. Saya ingat, kalau dikurskan, jumlahnya setara dengan 2 miliar rupiah.
Beasiswa itu tidak saya terima dalam bentuk tunai. Pemerintah Australia membiayai seluruh biaya studi saya di universitas yang saya pilih. Saya mendapat uang tunai setiap dua minggu, yang besarnya cukup untuk membiayai hidup saya dan suami yang sedang bersekolah.
Tuhan memang sungguh baik, saya dan suami disekolahkan. Kami berdua tidak perlu minta uang dari orang tua. Dan, yang paling penting, Dia tidak lupa memperlihatkan kepada saya bahwa cuilan emas tangga surga seharga dua miliar rupiah itu boleh saya nikmati.
Berkaca dari pengalaman saya, saya ajak Anda untuk berdoa. Saya yakin, Dia akan menunjukkan keberadaan-Nya karena Dia sangat menyayangi kita. Dia mengabulkan doa kita dengan cara yang ajaib.
Penulis: M.F. Deasy Ayuningtyas Tandio
Ilustrasi: Bambang Shakuntala
Artikelnya bagus :)