Seorang pria, karyawan di sebuah perusahaan swasta, ditugaskan oleh atasannya untuk menghadiri pelatihan di luar kota bersama seorang asisten perempuan yang juga ditugaskan untuk mendampinginya selama tiga hari pelatihan. Sebut saja pria itu bernama Handoko (bukan nama sesungguhnya), seorang manajer pemasaran, dan asistennya bernama Nining (juga bukan nama sebenarnya).
Terlintas di pikiran Handoko bagaimana ia berpamitan kepada istrinya yang belum sampai setahun dinikahinya. Sangat wajar bila istrinya bertanya, berapa orang yang dikirim ke pelatihan. Semua berawal dari hal sederhana itu, yaitu ketika Handoko harus menjawab pertanyaan istrinya.
Jika ia jujur, maka selama Handoko tidak di rumah, ia merasa meninggalkan beban di pikiran istrinya karena ia pergi ke luar kota bersama wanita lain, teman sekantornya. Karena tidak mau meninggalkan beban pemikiran kepada sang istri yang dicintainya, Handoko mengaku berangkat tugas bersama Prabowo. Dengan demikian ia merasa lega sesaat karena istrinya tampak biasa-biasa saja.
Sang istri mengenal baik sahabat suaminya itu. Namun, ternyata Handoko juga tidak merasa tenang begitu menyadari bahwa ada kemungkinan istrinya bertanya kepada istri Prabowo sebagai hal yang biasa di antara sesama istri karyawan tanpa bermaksud menyelidiki. Sayangnya, Handoko telanjur berbohong meski dengan tujuan baik.
Handoko sebenarnya tipikal orang yang jujur, tidak pandai bersandiwara, apalagi berbohong kepada pasangannya. Namun, apa yang terjadi sepulang dari tugas itu sungguh merupakan mimpi buruknya selama tiga hari ini. Istrinya marah karena pria yang telah dipilihnya menjadi suami ternyata telah membohonginya dengan tuduhan selingkuh dengan karyawati di perusahaan yang sama. Tuduhan itu terbentuk karena memang istri Handoko bertanya kepada istri Prabowo. Handoko mencoba menjelaskan mengapa ia terpaksa berbohong adalah demi “ngemong” perasaan istrinya selama ditinggal pergi.
Antara tujuan baik dan fenomena berbohong (tidak jujur) terhadap pasangan hidup itu akhirnya menjadi cikal bakal prahara keluarga yang lebih besar. Istri Handoko menyampaikan keberatannya dengan menemui direktur perusahaan untuk tidak lagi mengirim suaminya tugas ke luar kota. Atas dasar kebijaksanaan perusahaan, maka jabatan Handoko di perusahaan itu digantikan orang lain.
Handoko kecewa dengan keadaan itu, mengingat kariernya sedang naik daun. Ia pun menyalahkan sikap istrinya karena telah mencampuri urusan perusahaan yang sebenarnya berjalan secara profesional, tidak ada perselingkuhan sedikit pun. Istrinya pun menyalahkan Handoko mengapa berbohong alias tidak jujur kepada pasangan yang masih tergolong pengantin baru. Dengan alasan apa pun, nasi telah menjadi bubur. Handoko sebenarnya menyadari kesalahannya telah membohongi istrinya, tetapi ia gengsi disebut pembohong karena tujuannya baik.
Waktu terus berlalu
Kehidupan setelah menikah ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan. Pada masa pascaperkawinan itulah tantangan hidup yang sesungguhnya muncul. Butuh waktu yang panjang bagi Handoko untuk memulihkan nama baiknya di hadapan istri dan keluarga besarnya. Kesabaran mengikuti proses waktu itu pun masih dibebani dengan kenyataan bahwa perusahaan telah menurunkan jabatannya yang otomatis juga berdampak pada gajinya sehingga memunculkan masalah baru, yaitu ekonomi rumah tangga. Belum lagi alasan penurunan jabatan Handoko itu menjadi pergunjingan di internal perusahaan.
Itu semua disebabkan oleh pelanggaran etika oleh istrinya yang diam-diam menemui direktur utama perusahaan yang dinilai tidak bijaksana dalam menentukan kebijakan-kebijakan perusahaan. Trauma ditipu oleh suami telah menjadikan istri Handoko berperilaku tidak menyenangkan di hadapan Handoko setelah peristiwa itu. Tuduhan selingkuh tidak segera dibatalkan oleh istrinya. Dari sisi Handoko, kekecewaan karena kariernya hancur pun berlarut-larut yang menurut Handoko disebabkan oleh istrinya yang melanggar batas etika. Masih ditambah sang istri yang kini berperilaku bak intel, selalu memantau aktivitas suaminya.
Kapan hubungan akan membaik dan kebenaran untuk kebaikan kedua belah pihak dibukakan? Cepat atau lambat sangat tergantung pada Handoko dan istrinya. Tak pernah ada teori yang memuaskan untuk diikuti selain keterbukaan untuk mendengarkan suara hati masing-masing. Itu pun dengan catatan belum ada pihak ketiga yang mengambil keuntungan dari situasi tersebut.
Siapakah pihak ketiga?
Pihak ketiga bisa siapa saja. Ia adalah orang yang sering menerima keluhan atas kondisi yang berlangsung dalam keluarga Handoko yang sedang runyam. Pihak ketiga akan cepat muncul bila ada seseorang yang merasa senasib dengan keadaan itu. Bisa juga pihak ketiga adalah orang yang pura-pura senasib, dengan agenda tertentu yang sama sekali tidak menguntungkan bagi kelestarian rumah tangga Handoko.
Pihak ketiga kebanyakan adalah iblis yang menyamar sebagai malaikat penolong. Tak jarang, pihak ketiga ini justru seorang tokoh agama, seorang panutan yang seharusnya memberikan solusi, bukan menjadi bagian dari konflik itu. Kehadiran pihak ketiga ini tak bisa dipersiapkan apalagi diseleksi. Siapa pun yang dengan penuh keterbukaan bersedia menerima keluhan rumah tangga itu, lambat laun akan tergoda untuk memanfaatkan situasi yang ada dengan mengambil keuntungannya dan akan lari menjauh bila kedoknya terbongkar. Benar-benar tidak mendatangkan keuntungan bagi pasangan keluarga tersebut.
Adakah pihak ketiga yang baik?
Biarlah Tuhan sendiri yang mengambil alih kedudukan pihak ketiga, meski cahaya-Nya berwujud manusia biasa. Itu lebih baik daripada berwujud malaikat yang ternyata adalah bentuk penyamaran dari iblis. Kita tak pernah tahu. Kesepakatan sebaiknya dibangun bersama oleh pasangan yang sedang bermasalah, sosok siapa yang pantas menjadi pihak ketiga, pemberi solusi, bukan penambah konstelasi konflik. Di sini sangat disarankan untuk tidak mencari pihak ketiga sendiri-sendiri sebagai penerima curhat.
Pihak ketiga pemberi solusi atau pencerahan bisa siapa saja, bahkan orang yang tidak pernah kita perhitungkan. Bisa saja ia justru orang yang mengalami kehancuran rumah tangga dan telah bertobat, yakni mengetahui dengan baik penyebab kehancuran rumah tangganya. Namun, pihak ketiga yang terbaik adalah perpaduan niat baik dari pasangan itu sendiri, yaitu bersedia membuka diri terhadap suara kejujuran dan ketulusan serta kesadaran bahwa Tuhanlah yang telah menyatukan mereka dalam sebuah sakramen.
Tuhan bekerja melalui banyak cara, dengan satu syarat yang harus dimiliki, yaitu tidak keras hati bila mendengar “suara-Nya”, berbisik di sekeliling kita. Bisa jadi mereka adalah orang tua kita, saudara, atau tetangga. Bahkan pasangan kita sendiri. Sayangnya, banyak orang yang lebih nyaman memilih pihak ketiga adalah orang yang justru memanfaatkan kondisi buruk yang sedang melanda keluarga kita.
Penulis: Bambang Shakuntala
Ilustrasi: thehealthsite.com
06 Mei 2022
24 Maret 2022
08 April 2021
561 Views
0 comments