Dua tahun lalu, dalam kesempatan menjadi panitia acara Asian Youth Day, saya mendengarkan salah satu sesi seminar yang mengangkat tema “Pewartaan di Dunia Digital”. Ada satu pernyataan yang menarik bagi saya, “Umat Katolik saat ini banyak yang menggunakan internet, terutama media sosial. Namun, berapa banyak dari kita yang mau masuk dan menyapa mereka?”
Ibaratnya, ada sepetak besar ladang yang berbuah melimpah dan siap dipanen, namun tak ada pekerja berada di sana untuk mengumpulkan panenan itu. Saya yang bertahun-tahun berteguh hati untuk tidak membuat akun Instagram pun akhirnya mulai berpikir sebaliknya. Kebetulan, saya suka menulis dan menggambar. Saya bertanya kepada diri sendiri, “Bagaimana kalau saya mencoba membuat akun yang berisikan gambar dan renungan saya?” Sejak saat itu, lahirlah akun @bayuedvra yang masih saya kelola sampai saat ini.
Beberapa minggu setelah membuat akun tersebut, saya memantapkan hati untuk membuat gambar dan tulisan renungan berdasarkan bacaan Misa Mingguan. Saya memiliki angan-angan agar orang muda Katolik mempunyai “stok” gambar rohani bergaya modern untuk digunakan dalam presentasi saat rekoleksi atau dipajang di akun-akun media sosial mereka. Sesekali waktu, saya juga membuat komik pendek tentang pengalaman dan ajaran iman.
Dalam proses menyelesaikan tesis teologi beberapa tahun sebelumnya mengenai seni rupa dalam Gereja, saya paham bahwa saat ini kita hampir selalu mereproduksi gambar-gambar religius-liturgis klasik dan sangat jarang memproduksi atau menciptakan gambar-gambar religius dengan gaya baru yang lebih ringan, tak mesti liturgis. Bukankah ruang pernyataan iman umat Katolik lewat gambar saat ini tak hanya dinding-dinding gereja, namun juga dinding-dinding media sosial?
Bulir yang Matang
Saya sempat berpikir bahwa “penduduk” dunia digital saat ini lebih menyukai gambar daripada tulisan sehingga kemungkinan besar renungan berupa kata-kata tidak akan dibaca. Akan tetapi, tulisan renungan tetap harus saya buat. Orang Katolik harus berdamai dengan literasi karena tradisi Gereja diwartakan dan diwariskan pertama-tama lewat tulisan: Kitab Suci, Tradisi lisan yang kemudian dituliskan, dokumen-dokumen Gereja, juga tulisan para pujangga Gereja. Bukankah semuanya berwujud tulisan? Setelah tulisan, barulah kemudian tradisi Gereja diwartakan dalam bentuk visual, misalnya gambar yang cukup digemari Gereja sebelum mesin cetak ditemukan. Akan tetapi, pada era digital yang mengutamakan tampilan visual ini, saya tetap saja cukup pesimistis bahwa tulisan masih diminati.
Dalam kenyataannya, saya keliru besar. Renungan yang saya buat tetap dibaca dengan sungguh-sungguh. Tanggapan atas renungan itu sering kali lebih banyak dibandingkan dengan tanggapan atas ilustrasinya. Tulisan dan gambar saya sering diunggah ulang (repost) oleh akun-akun Katolik besar yang memiliki lebih banyak followers sehingga menjangkau semakin banyak orang. Bahkan, bukan hanya orang Katolik yang membaca renungan dan komik saya.
Dari realitas itu, saya sadar betapa bulir-bulir masak yang siap dipanen itu nyata adanya. Ada banyak “umat” yang siap untuk membaca, merenungkan, dan membagikan permenungan-permenungan yang baik. Mereka adalah peziarah digital yang sesungguhnya haus. Melalui handphone yang mereka tatap berjam-jam tiap harinya, mereka mencari penyejuk dahaga. Polusi ungkapan kebencian dan teriknya berita hoax membuat mereka lelah. Mereka lebih dari siap untuk menerima dan membaca renungan yang mewakili iman, membahasakan pengalaman, dan mengungkapkan pergulatan mereka. Itulah oasis di tengah padang gurun digital saat ini.

Bekal Sang Pekerja
Pewartaan dalam dunia digital bukanlah sebuah proses instan. Proses saya bergulat dengan seni rupa sebagai sarana pewartaan sudah dimulai sejak saya masuk Seminari Menengah. Di kemudian hari, media sosial menjadi galeri dari hasil proses tersebut. Mengunggah gambar dan renungan dalam platform media sosial adalah satu hal. Membuat gambar dan renungan tersebut adalah hal lain. Ada yang mengusulkan agar saya membuat renungan bergambar tersebut setiap hari, tetapi tidak semudah itu keadaannya. Untuk mengunggah sebuah renungan dan gambar memang hanya butuh beberapa menit, tetapi dibutuhkan waktu satu minggu untuk membaca, berefleksi, mencari referensi, menggambar, serta menuliskan renungan tersebut. Setiap unggahan (posting-an) yang baik butuh waktu persiapan yang matang pula.
Ibarat seorang pekerja panenan yang mesti membawa bekal agar tidak kelelahan dalam bekerja, kita pun mesti membawa bekal bila ingin bekerja dalam ladang digital yang luas dan riuh. Bekal tersebut adalah refleksi pribadi atas pengalaman hidup sehari-hari, referensi-referensi, dokumen Gereja dan buku bacaan rohani, serta pengalaman religius pribadi dalam doa-doa kita. Ringkasnya, untuk melayani mereka yang haus akan literatur rohani, kita pun harus terus mengisi diri dengan “membaca”, baik membaca buku maupun pengalaman. Syukurlah bahwa di Seminari Menengah tempat saya berkarya saat ini, ada kesempatan menemani seminaris untuk menikmati bacaan rohani sehingga saya pun memiliki waktu rutin untuk menambah bacaan rohani. Tanpa bekal yang melimpah dan selalu update tersebut, kita akan mudah kelelahan dan putus asa. Renungan-renungan serta gambar yang diunggah pun akan terasa kering dan hambar.
Saya cukup senang melihat banyak rohaniwan, biarawan-biarawati, dan para frater yang saat ini sudah ikut menjadi pewarta dalam dunia digital. Akan tetapi, kita tetap harus belajar dengan rendah hati kepada umat awam yang sering kali lebih profesional dalam mengelola sebuah akun Katolik. Akun-akun tersebut hendaknya bukan menjadi sekadar sarana curhat atau pewartaan diri pribadi, melainkan sebagai sarana pewartaan Injil. Popularitas—yang dilihat secara sempit pada jumlah followers atau likes—memang menggoda. Akan tetapi, saya yakin mereka yang siap mewartakan Injil sudah bisa lepas bebas dari godaan-godaan remeh semacam itu.
Bayu Edvra Paskalis, Pr
Pamong Seminari Menengah St. Petrus Canisius Mertoyudan
706 Views
0 comments