Saat mendapat jatah libur dari seminari, aku mendapat tugas menjual majalah terbitan seminari. Dengan semangat seorang penjual, aku mulai memasarkan eksemplar per eksemplar kepada umat di parokiku. Libur yang hanya berlangsung selama sepuluh hari itu membuatku begitu bersemangat untuk memasarkan dan menjual majalah AQUILA dengan harapan semua terjual dan mendapatkan penghasilan yang cukup banyak.
Sore itu, saat langit begitu cerah, aku memutuskan untuk berkeliling ke rumah-rumah umat di sekitarku dengan bersepeda. Panasnya matahari sore tak menyurutkan niatku untuk berjualan keliling menggunakan sepeda kayuh kesayanganku. Debu dan keringat memang menjadi tamu yang menempel pada badanku yang sudah bersih dan wangi ini. Tetapi, keringat dan debu jalanan itu justru membuatku semakin bersemangat dalam menunaikan tugas selama liburan ini.
Satu per satu umat kudatangi untuk kutawari majalah itu. Memang, awalnya aku sama sekali tidak berpikiran akan diterima dengan baik oleh umat yang rumahnya kudatangi dan majalah akan laku dalam jumlah cukup banyak. Aku hanya mengandalkan cinta kasih dan arahan dari Tuhan. Aku hanya yakin, Tuhanlah yang menuntunku sehingga majalah yang kujual laku dan mendapatkan hasil yang cukup banyak. Nyatanya, umat menerima kedatanganku dengan baik dan majalah yang kubawa laku cukup banyak. Setelah misi ini berhasil, kembali kukayuh sepeda dengan cepat untuk kembali ke rumah.
Langit yang cerah berangsur-angsur berubah mendung. Hujan rintik-rintik mulai terasa. Aku yakin hujan deras sebentar lagi akan turun. Maka, kukayuh sepedaku dengan lebih cepat dengan harapan lekas sampai di rumah sebelum hujan deras turun dan membasahi tubuhku ini.
Tetapi, ketika aku mulai mengayuh sepedaku dengan lebih cepat, hujan turun semakin lebat dan tiba-tiba rantai sepedaku terlepas. Maka, kuputuskan untuk berteduh di emperan toko menunggu hujan reda sambil kucoba memperbaiki rantai sepeda itu.
Berulang kali rantai sepeda kutarik-tarik agar bisa kembali terpasang, tetapi hasilnya nihil. Akhirnya, aku memutuskan untuk tidak lanjut memperbaiki rantai sepeda dengan tanganku sendiri.
Tak disangka, saat aku sedang melihat-lihat kerusakan pada rantai sepeda, beberapa anak kampung melihat diriku. Tiba-tiba mereka mendekatiku dan bertanya, “Kenapa, Mas, sepedanya? Rusak?”
“Iya, Dik. Sepedanya rusak, rantainya lepas,” jawabku.
Mereka pun langsung mencoba memperbaikinya. Aku yakin mereka pasti bisa memperbaiki rantai itu karena mereka tampak sangat akrab dengan hal-hal seputar sepeda. Setelah beberapa lama mencoba, belum ada hasil. Mereka rela tubuhnya diguyur hujan demi memperbaiki sepedaku yang rusak.
Setelah mereka berusaha memperbaiki sepada cukup lama dan hasilnya nihil, maka kukatakan kepada mereka, “Dik, sudahlah. Kalau memang nggak bisa, nggak apa-apa, nggak usah dipaksakan. Kalian pulang saja, hujan sudah semakin deras.”
Tetapi, sambil mengutak-atik rantai sepedaku, mereka malah menjawab, “Nggak apa-apa, Mas. Kami masih bisa kok memperbaiki sepedanya Mas.”
Walau begitu, mereka semua akhirnya pamit pulang karena sudah tidak bisa lagi memperbaiki sepedaku dan aku hanya bisa berterima kasih kepada mereka yang mau berusaha menolong diriku meskipun belum berhasil.
Tetapi, suatu hal yang sama sekali tidak kusangka akhirnya datang lagi. Anak-anak kampung tadi ternyata kembali datang menemuiku dengan membawa kunci pas dan berbagai macam peralatan untuk memperbaiki sepedaku.
Hujan yang semakin deras ternyata tak membuat mereka putus asa menyelamatkan orang yang mengalami kesulitan sampai berhasil. Anak-anak kampung itu berusaha memperbaiki rantai sepedaku hingga berhasil. Sementara itu, aku hanya bisa berteduh dan melihat anak-anak kampung itu memperbaiki rantai sepedaku.
Saat aku masih berteduh, tiba-tiba salah seorang anak kampung yang memperbaiki sepedaku memanggil, “Mas, sudah beres semuanya nih. Sudah saya perbaiki dan berhasil.”
Mereka tampak bersuka hati. Aku pun sangat senang karena anak-anak yang menolongku telah berhasil memperbaiki rantai sepeda hingga tuntas. Aku hanya bisa berterima kasih kepada mereka. Tak dapat aku memberi imbalan kepada mereka sepeser pun, karena aku tidak mempunyai uang pribadi.
“Dik, terima kasih sekali, ya, sudah bisa memperbaiki sepedaku sampai berhasil. Kalian memang anak-anak baik,” ucapku kepada mereka semua.
Mereka pun menjawab, “Sama-sama, Mas.”
Setelah itu, aku bertanya kepada salah satu dari merek, “Dik, namamu siapa? Rumahmu di mana?”
Salah satu anak kampung itu menjawab, “Namaku Nando, rumahku di belakang sini.”
“Oke, Nando, terima kasih, ya. Kapan-kapan aku main ke rumahmu,” janjiku.
Lalu, kulihat mereka pergi meninggalkanku yang sedang menunggu hujan reda di emperan toko.
Setelah anak-anak kampung itu pergi, aku mulai bertanya-tanya dalam hati, pernahkah aku berbuat baik sampai seperti ini? Pernahkah aku berkorban begitu besar demi membantu orang yang butuh pertolongan?
Hatiku rasanya seperti benar-benar disadarkan dengan peristiwa ini. Pengorbanan yang begitu besar akan selalu menimbulkan kebahagiaan dan rasa haru dalam hati, apalagi bila pengorbanan itu berhasil tanpa sia-sia.
Aku sendiri merasa belum pernah berkorban begitu besar seperti yang dilakukan anak-anak kampung itu kepadaku. Aku masih sering mempertahankan zona nyamanku dengan membiarkan orang yang sedang mengalami kesulitan.
Setelah kejadian ini berlalu, hampir setiap malam aku mendoakan anak-anak kampung yang telah menyelamatkanku itu dan memberikan semangat baru bagiku untuk lebih mau menyediakan diri dengan berkorban bagi sesama, terlebih yang sedang membutuhkan dan sangat terdesak.
Terima kasih, Tuhan, tangan-Mu sungguh bekerja lewat tangan para malaikat-malaikat kecil penolong sejati itu. Tanpa mereka, aku mungkin harus berjuang sendiri menuntun sepedaku dengan rantai yang terlepas dari emperan toko sampai ke rumahku.
Johanes Maximillien Adhi
Ilustrasi: Bambang Shakuntala
Ceritanya menarik.