“Berkat Tuhan yang terbungkus duri tajam datang bertubi-tubi kepadaku,” buka Yohanes Dahudi. Tahun 1992 Dahudi yang selalu bekerja keras demi keluarga sehingga kurang beristirahat, sakit tifus akut. Ia harus opname di rumah sakit sampai dua minggu. Sang istri, Yosephine Septiana Widi Astuti, setia menemani dan merawatnya.
Suatu hari Yosephine pulang sebentar untuk membereskan rumah dan mengurus anak-anak. Ketika kembali ke rumah sakit, kamar suaminya penuh orang karena ada pasien yang meninggal. Yosephine mengira suaminya meninggal. Yosephine menjerit histeris sampai lama hingga akhirnya tenang kembali. Ketika pulang, Yosephine melewati sebuah kuburan yang sedang ada prosesi pemakaman. Yosephine mengira suaminya yang dimakamkan. Ia menjerit histeris lagi sampai pingsan.
Ketika sadar, Yosephine telah berubah. Matanya menerawang jauh, tidak sambung kalau diajak komunikasi. “Duh Gusti, ampunilah kami, sembuhkan istriku. Saya sangat mencintainya. Ia sungguh ibu yang baik. Tuhan, sembuhkan istriku,” doa Dahudi memelas.
Sejak itu tugas dan beban hidup Dahudi bertambah. Selain sebagai guru PNS di sebuah SD negeri, ia harus mendampingi istrinya yang butuh perhatian dan bantuannya. Untuk menghibur, Dahudi selalu mengajak berbicara sambi tersenyum dan tertawa meski hatinya tersayat-sayat.
Jika istrinya tersenyum, Dahudi sudah senang sekali. Untuk mengobati istrinya, umat Paroki Santo Antonius Banjarnegara ini membutuhkan dana tak sedikit. Demi kecukupan ekonomi, Dahudi mengerjakan apa saja asal halal, misalnya menulis dongeng, menjadi pembawa acara, memberi les, menyanyi di perhelatan, dan sebagainya. Untuk menulis dongeng yang dikirim ke majalah anak-anak, ia meminjam mesin tik sekolah. “Karena tidak punya mesin tik, sore saya pinjam, pagi saya kembalikan. Saya mengetik dengan sebelas jari sampai larut malam,” katanya lugu.
Agar selalu bisa mendampingi istri, pria kelahiran Bantul, 6 Juni 1958 ini sering pulang sebentar dari sekolah untuk menengok Yosephine. “Bu, mau minta apa?” tanya Dahudi yang kerap tak berjawab. “Mau minum? Makan? Ke belakang?” Dahudi senang sekali bila istrinya tersenyum atau mengangguk.
“Tuhan, semoga aku bisa mengerti dan membahagiakan istriku,” harap Dahudi yang air matanya kerap menetes deras, merasa kasihan kepada istrinya.
“Bu, saya dan anak-anak tetap mencintai Ibu, bagaimanapun keadaanmu,” bisik Dahudi di telinga istrinya. Jika Yosephine tersenyum, Dahudi memeluknya sambil berbisik lagi, “Terima kasih, ya, Bu.”
Banyak teman jatuh iba dan menyarankan agar Dahudi menikah lagi. Namun, Dahudi ingat janjinya di depan altar, tetap setia dalam untung dan malang, dalam sakit dan sehat. Dengan hati yang tersayat-sayat Dahudi menjawab, “Terima kasih atas sarannya. Saya yakin istri saya akan sembuh.”
Malam hari, ketika berbaring di sebelah Yosephine, mata Dahudi menerawang, menembus langit-langit rumah. Pikirannya berkelana tak terkendali. Ia mengingat kembali seluruh pengorbanan istrinya. Istrinya pandai mengatur ekonomi yang cupet menjadi cukup dan selalu menomorsatukan anak-anaknya. Sekarang semua anak sudah mentas dan hidup layak. Saat pikiran melangut, Dahudi ingat kembali saran temannya untuk menikah lagi.
“Jika menikah lagi, aku menambah penderitaan batin istriku dan membunuhnya perlahan-lahan. Tak akan pernah kulakukan!” teriaknya tersekat. “Pengorbanan istriku jauh lebih banyak daripada pengorbananku.”
Dengan air mata yang deras mengalir, Dahudi memeluk istrinya sambil berbisik, “Bu, saya akan tetap mencintaimu.” Mendengar itu, Yosephine memandangnya tanpa ekspresi. “Ibu, maafkan saya. Tuhan, ampuni saya,” teriak batin Dahudi.
Agar selalu dapat memperhatikan Yosephine, ke mana pun Dahudi pergi di luar tugas pokok, ia selalu mengajak istrinya. Mereka datang lebih awal ke gereja. Dahudi mendudukkan istrinya di bangku kiri paling depan. Setelah Yosephine tenang, Dahudi pergi ke sakristi untuk mengenakan pakaian tugas sebagai prodiakon. Dahudi dapat tenang menjalankan tugas karena Yosephine selalu diperhatikan umat yang duduk di dekatnya.
Sekian tahun menjalani hidup bersama istri yang selalu menerawang kosong, Dahudi menjadi terbiasa. Segalanya menjadi rutin, tak ada lagi yang dirasa sebagai beban.
Agaknya, Tuhan ingin Dahudi semakin menjadi putra kesayangan-Nya. Siang itu, 16 Agustus 2014, menantunya pamit mau bermain badminton di lapangan indoor bersama temannya. Satu jam kemudian, Dahudi mendapat kabar menantunya pingsan di lapangan. Ketika dokter datang memeriksa, ternyata menantu Dahudi telah pergi selamanya.
Seluruh keluarga bagai disambar petir, seakan bumi runtuh. Mengalami kenyataan itu, beban hidup Dahudi bertambah. Selain istri, ia juga harus memperhatikan anak dan cucunya. Dahudi mencoba tegar meski hatinya hancur penuh tanda tanya, “Apa maksud Tuhan dari peristiwa itu?”
“Anugerah” Dahudi tak hanya sampai di situ. Tanggal 21 September 2014, mertuanya yang selama ini menjadi pendamping Dahudi serta pengayom bagi ketiga anak dan keenam cucunya, dipanggil Tuhan. Seluruh keluarga seperti anak ayam kehilangan induk. Dahudi yang sangat dekat dengan mertuanya merasa sangat kehilangan. Mertua, tempatnya mencurahkan isi hati, memohon doa restu dan nasihat, kini sudah tiada. Segala beban Dahudi panggul sendiri. Syukurlah, Tuhan selalu mengirim penghibur bagi Dahudi lewat pastor, teman-teman, sesama umat, dan anak-cucu.
Kiranya Tuhan masih menyambangi Dahudi yang suka menulis puisi, menyanyi, dan melukis itu lewat peristiwa yang unik sekali. Maret 2015 rumah Dahudi terbakar ketika ia sedang bertugas sebagai prodiakon di gereja. Rumahnya memang tak habis terbakar, karena tetangga sigap memadamkan api. Namun, Dahudi shocked dan hatinya getir tersayat. “Bagaimana saya bisa membangun lagi? Biaya dari mana? Tuhan, ampunilah aku. Bunda Maria, tolonglah aku,” doanya saat malam kelam sambil berlutut di tengah rumah itu.
Tak disangka, esoknya puluhan orang datang dengan membawa bahan dan alat tukang. Tanpa komando, para tetangga langsung memperbaiki rumah Dahudi. Dalam waktu satu hari rumah Dahudi utuh kembali, seakan tanpa bekas terbakar. Dahudi, satu-satunya orang Katolik di kampung, melongo takjub dan bersyukur.
“Pak Dahudi orang baik, sabar, setia, hormat kepada semua orang. Maka, kami pun baik kepada dia walau beda keyakinan,” kata seorang tetangga yang diiyakan tetangga yang lain. Dahudi menerima pujian itu dengan rendah hati.
Namun, ada kalanya iman Dahudi terguncang. “Tuhan, mengapa Engkau menghukum aku? Apa salahku?” protesnya.
Perasaan itu lama berkecamuk, membuat Duhadi sangat tidak bahagia.
“Betulkah Tuhan yang sangat mengasihi itu menghukum aku?” renungnya. “Apakah peristiwa-peristiwa kelam itu hukuman, balas dendam Tuhan atas dosaku, ataukah berkat?”
Sebagai pendoa, Dahudi membawa segala kegetiran hatinya kepada Yesus yang tersalib dan Bunda Maria Ratu Dukacita. Lewat pergumulan batin, akhirnya Dahudi menemukan pencerahan bahwa segala pahit getir itu memang suatu salib yang membawa derita tetapi juga berkat. “Dalam hidupku memang ada banyak derita. Namun, anugerah dan kebahagiaan Tuhan jauh lebih banyak. Semua anak saya lancar studinya dan mudah mendapat pekerjaan. Hidup mereka mapan,” yakin Dahudi yang pada Juni 2015 minta pensiun dini agar dapat memperhatikan istri dan cucunya ini.
Yohanes Muryadi
06 Mei 2022
24 Maret 2022
08 April 2021
656 Views
0 comments